Newsletter

Pusing! The Fed & ECB Bakal Lomba Kerek Suku Bunga Nih?

Putra, CNBC Indonesia
08 September 2022 06:02
Ilustrasi Bursa (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Foto: Ilustrasi Bursa (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga aset keuangan domestik kompak melemah kemarin, Rabu (7/9/2022). Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), rupiah dan Surat Berharga Negara (SBN) terkoreksi.

Setelah mengalami dua hari penguatan beruntun, IHSG akhirnya terbenam di zona merah. IHSG terkoreksi 0,64% dan ditutup di 7.186,76 pada perdagangan kemarin.

IHSG kembali terlempar keluar dari level psikologis 7.200. Indeks sudah bergerak di zona koreksi sejak perdagangan dibuka.

Meski sempat berbalik ke zona hijau, tetapi penguatan tersebut tak berlangsung lama. IHSG harus rela berakhir di zona merah bersama dengan mayoritas indeks saham acuan Bursa Regional.

Di kawasan Asia Pasifik, hanya ada tiga indeks saham yang menguat yaitu indeks SETi Thailand (naik 0,27%), indeks KLCI Malaysia (menguat 0,16%) dan indeks Shang Hai Composite China (naik 0,09%).

Sisanya mengalami pelemahan dengan indeks VN Vietnam anjlok paling parah (turun 2,68%). Beruntungnya IHSG masih bisa menduduki peringkat 6 di Asia Pasifik.

Kinerja IHSG kemarin masih lebih baik dari indeks bursa saham beberapa negara seperti Filipina, Vietnam, Australia, Hong Kong, Jepang, Korea Selatan dan Taiwan.

Kendati IHSG terkoreksi, dana asing masih masuk ke pasar saham domestik. Asing terpantau net buy sebesar Rp 543 miliar di pasar reguler.

Pelemahan juga dialami oleh aset minim risiko yaitu obligasi negara. Imbal hasil (yield) SBN 10 tahun terpantau naik 2 basis poin (bps) dan tembus 7,2%.

Kenaikan yield mengimplikasikan bahwa harga aset pendapatan tetap (fixed income) tersebut sedang mengalami penurunan.

Di pasar spot, nilai tukar rupiah juga mengalami pelemahan. Di hadapan dolar AS, rupiah melemah 0,2% ke Rp 14.915/US$.

Rupiah konsisten melemah sejak pertengahan bulan Agustus lalu. Dengan koreksi yang terjadi kemarin, kini rupiah berada di posisi terlemahnya dalam satu bulan terakhir.

Bank Indonesia (BI) mencatat cadangan devisa tetap di kisaran US$132,2 miliar pada akhir Agustus 2022. Posisi ini tidak berubah dibandingkan US$ 132,2 miliar pada Juli 2022.

Direktur Eksekutif Kepala Departemen Komunikasi BI Erwin Haryono menjelaskan perkembangan posisi cadangan devisa pada Agustus 2022 antara lain dipengaruhi oleh penerimaan pajak dan jasa, penerimaan devisa migas, di tengah kebutuhan untuk stabilisasi nilai tukar Rupiah sejalan dengan masih tingginya ketidakpastian pasar keuangan global.

Posisi cadangan devisa tersebut setara dengan pembiayaan 6,1 bulan impor atau 6,6 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor.

BI menilai cadangan devisa tetap memadai, didukung oleh stabilitas dan prospek ekonomi yang terjaga, seiring dengan berbagai respons kebijakan dalam menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan guna mendukung proses pemulihan ekonomi nasional.

Indeks saham acuan Bursa New York akhirnya menghijau pada perdagangan Rabu (7/9/2022).  Indeks Dow Jones dan S&P 500 naik 0,19% sedangkan Nasdaq Composite terapresiasi 0,26% pada 21.15 WIB.

Terpantau hingga 13:18 waktu setempat bursa Wall Street sudah euforia dan menghijau kuat. Tercatat Dow Jones naik 1,26%, S&P 500 menanjak 1,5%, sedangkan Nasdaq loncat 1,63%.

Penguatan indeks saham Wall Street menyusul pelemahan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun.

Yield US Treasury Note tenor 10 tahun terpantau melemah 3 basis poin (bps) menjadi 3,31%  setelah sempat menyentuh posisi tertingginya sejak pertengahan Juni 2022 di 3,35%.

US Treasury Note tenor 10 tahun merupakan aset pendapatan tetap yang dikenal paling aman sehingga sering disebut sebagai risk free.

Ketika risk free rate naik, wajar jika saham yang lebih berisiko dilepas para investor dan mengalami koreksi harga. Setidaknya itulah yang terjadi belakangan ini.

Kenaikan risk free rate dipicu oleh arah kebijakan moneter bank sentral AS yang masih bernada hawkish. Pelaku pasar mengantisipasi Fed akan menaikkan suku bunga acuan sebesar 75 bps pada pertemuan September ini.

Asal tahu saja, Fed sudah mengerek naik suku bunga acuannya sebanyak 4x menjadi 2,25% sepanjang tahun ini.

Di bulan Juni dan Juli, Fed menaikkan Federal Funds Rate (FFR) masing-masing sebesar 75 bps dan menjadi pengetatan moneter sejak tahun 1990-an.

Selain berdampak pada kenaikan yield US Treasury Note, kenaikan suku bunga yang agresif juga membuat indeks dolar AS menguat dan tembus 110.

Penguatan indeks dolar AS menelan korban yaitu mata uang lain termasuk mata uang negara maju seperti Euro dan Poundsterling.

Bahkan belum lama ini, Poundsterlling melemah ke posisi terendahnya sejak tahun 1985.

Fed yang masih akan agresif dalam mengerek suku bunga acuan diprediksi akan membuat ekonomi AS terdampak. Pertumbuhan ekonominya diramal bakal melambat bahkan sampai resesi.

Namun Fed 'kekeuh' bahwa inflasi tampaknya belum mencapai puncak sehingga kebijakan moneter yang restriktif masih akan ditempuh.

Untuk hari ini, investor patut mencermati beberapa sentimen yang dapat menggerakkan harga aset keuangan domestik.

Sentimen tersebut kebanyakan dari luar negeri (eksternal) yang cenderung dampaknya akan dominan mempengaruhi kinerja pasar.

Pertama tentu terkait dengan keputusan suku bunga acuan bank sentral Uni Eropa (ECB). Dengan laju inflasi yang terus meningkat dan tekanan suplai imbas perang yang belum mereda, ECB diperkirakan bakal mengambil langkah hawkish.

Pelaku pasar mulai mengantisipasi ECB akan mengerek suku bunga acuan naik dengan besaran sampai 75 basis poin (bps). Besaran tersebut sama dengan yang dilakukan oleh Fed di bulan Juni dan Juli.

Faktor yang melatarbelakangi ECB untuk mengikuti langkah Fed yang agresif mengerek suku bunga acuan adalah inflasi.

Di bulan Agustus lalu, laju inflasi di kawasan Benua Biru tembus 9,7% year on year (yoy). Ke depan, pengamat dan pengambil kebijakan memprediksi bahwa laju inflasi masih bisa naik ke level dobel digit.

Sinyal ECB yang bakal agresif juga disampaikan oleh pejabatnya yaitu Isabel Schanabel dalam pidatonya di Simposium Tahunan Jackson Hole Wyoming.

Melansir CNBC International, Isabel memberikan clue bahwa inflasi di Zona Euro bisa tembus 10% sehingga kenaikan suku bunga acuan dengan besaran jumbo 75 bps sangatlah mungkin.

Kini sudah ada 3 bank sentral Negara Barat yang menempuh kebijakan moneter ketat secara agresif. Ada Fed, ECB dan BoE (bank sentral Inggris).  

Pengetatan moneter lewat kenaikan suku bunga acuan dan penarikan likuiditas di pasar keuangan tentu saja akan membuat pasar keuangan goyang. Inilah yang harus diwaspadai oleh investor.

Di sisi lain, katalis positif yang selama ini mendorong penguatan IHSG yaitu harga batu bara juga tampak tak bisa diharapkan terlalu banyak.

Setelah tembus rekor tertinggi baru di US$ 464/ton, harga si batu hitam melorot. Harga kontrak batu bara termal ICE Newcastle berjangka anjlok 4,71% kemarin dan ditutup di US$ 430/ton.

Berikut beberapa data ekonomi yang akan dirilis hari ini:

  • Rilis data Transaksi Berjalan Jepang bulan Juli 2022 (06:50 WIB).
  • Rilis data Pertumbuhan Ekonomi Jepang (Annualized) kuartal II-2022 (06:50 WIB).
  • Rilis data Neraca Dagang Australia bulan Juli 2022 (08:30 WIB).
  • Rilis data Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) Indonesia bulan Agustus 2022 (10:00 WIB).

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

Indikator

Tingkat

Pertumbuhan Ekonomi (Q1-2022 YoY)

5,44 %

Inflasi (Agustus 2022, YoY)

4,69%

BI 7 Day Reverse Repo Rate (Agustus 2022)

3,75%

Surplus/Defisit Anggaran Sementara (APBN 2022)

-3,92% PDB

Surplus/Defisit Transaksi Berjalan (Q2-2022)

1,1% PDB

Cadangan Devisa (Agustus 2022)

US$ 132,2 miliar

 

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular