Berkaca dari Cadev RI, Rupiah Babak Belur Akibat Isu BBM Naik

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
07 September 2022 11:10
Dollar
Foto: Freepik

Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Indonesia (BI) melaporkan cadangan devisa bulan Agustus. Hasilnya tidak ada perubahan, cadangan devisa pada akhir bulan lalu sebesar US$ 132,2 miliar, sama dengan posisi akhir Juli.

Meski demikian, cadangan devisa tersebut bisa saja bertambah jika rupiah tidak mengalami tekanan. Hal tersebut terindikasi dari pernyataan BI.

"Perkembangan posisi cadangan devisa pada Agustus 2022 antara lain dipengaruhi oleh penerimaan pajak dan jasa, penerimaan devisa migas, di tengah kebutuhan untuk stabilisasi nilai tukar Rupiah sejalan dengan masih tingginya ketidakpastian pasar keuangan global," tulis BI dalam keterangan resminya, Rabu (7/9/2022).

Pernyataan tersebut mengindikasikan BI menggunakan cadangan devisa untuk melakukan intervensi guna menstabilkan rupiah.

BI memiliki jurus triple intervention guna menstabilkan nilai tukar rupiah. Intervensi dilakukan di Domestic Non-Delivery Forward (DNDF), di pasar spot, sampai ke pasar Surat Berharga Negara (SBN)

Adapun pergerakan rupiah sangat volatil sepanjang Agustus. Jeblok 1,1% di awal Agustus hingga nyaris ke Rp 15.000/US$, rupiah kemudian berbalik menguat hingga 1,2% dan menyentuh Rp 14.655/US$ pada 12 Agustus lalu. Tetapi rupiah kemudian perlahan memangkas penguatan tersebut, dan sepanjang Agustus mencatat pelemahan tipis saja 0,07%.

Seperti disebutkan BI ketidakpastian global membuat rupiah tertekan. Selain itu, dari dalam negeri isu kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) subsidi jenis Pertalite dan Solar turut memberikan dampak negatif ke rupiah.

Seperti diketahui, Presiden Joko Widodo(Jokowi) akhirnya memutuskan menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Harga Pertalite diputuskan naik dari Rp 7.650 jadi Rp 10.000 per liter, naik sekitar 30%. Solar subsidi dari Rp 5.150 per liter jadi Rp6.800 per liter, Pertamax nonsubsidi naik dari Rp 12.000 jadi Rp 14.500 per liter.

"Ini adalah pilihan terakhir pemerintah, yaitu mengalihkan subsidi BBM. Sehingga harga beberapa jenis BBM yang selama ini subsidi akan alami penyesuaian," kata Jokowi dalam Konferensi Pers Presiden Jokowi dan Menteri Terkait perihal Pengalihan Subsidi BBM ditayangkan akun Youtube Sekretariat Presiden, Sabtu (3/9/2022).

Meski baru dinaikkan Sabtu lalu, tetapi isu kenaikan harga Pertalite dan Solar sudah berhembus kencang sejak pertengahan Agustus lalu. Bahkan sebelumnya, pemerintah diperkirakan akan mengumumkan kenaikan BBM tersebut pada 31 Agustus.

Alhasil, rupiah terus tertekan. Sentimen negatif tersebut juga terasa di pasar obligasi dimana terjadi capital outflow yang besar.

Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR), sepanjang pekan lalu terjadi capital outflow lebih dari Rp 6 triliun sepanjang pekan lalu.

Capital outflow tersebut tentunya menekan rupiah.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Sejarah Menunjukkan Rupiah Selalu Jadi Korban Kenaikan BBM

Kenaikan harga BBM subsidi memang menjadi perhatian. Sebab, jika melihat ke belakang, rupiah selalu menjadi korban kenaikan harga BBM subsidi.

Sejak era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) hingga Joko Widodo (Jokowi),BBM subsidi dinaikkan sebanyak 5 kali. SBY menaikkan sebanyak 4 kali, sementara Jokowi sekali di 2014 saat pertama kali menjabat sebagai RI 1.

Pada 2005 lalu, SBY menaikkan BBM subsidi sebanyak dua kali, pada Maret sebesar 29% dan pada Oktober sebesar 114%.

Kemudian pada Mei 2008, pemerintah kembali menaikkan BBM sebesar 28% pada Mei 2008. Sebelum selesai menjabat dua periode, SBY juga menaikkan BBM sebesar 30% pada Juni 2013.

Jokowi yang mulai menjabat menjadi presiden sejak Oktober 2014 langsung menggebrak dengan menaikkan BBM sebesar 34%.

Di akhir Oktober 2014, sebelum kenaikan BBM Premium, rupiah berada di kisaran Rp 12.080/US$ kemudian terus melemah hingga menyentuh Rp 12.930/US$ pada pertengahan Desember. Pelemahannya tercatat lebih dari 7% dalam satu setengah bulan.

Hal yang sama juga terjadi setahun sebelumnya. Pemerintah menaikkan harga BBM di bulan Juni 2013 yang memicu kenaikan inflasi hingga 8,38% year-on-year (yoy). Rupiah pun terus mengalami pelemahan hingga menembus ke atas Rp 10.000/US$. Pelemahan rupiah diperparah dengan isu tapering The Fed.

Pada 2008, BBM dinaikkan Mei, tidak lama berselang rupiah melemah sekitar 1,7%. Sementara di 2005 saat dua kali kenaikan, rupiah merespon berbeda. Kenaikan pertam direspon dengan merosot 5,9%, sementara yang kedua malah menguat 6,5%.

Jika dilihat sepanjang tahun, setiap terjadi kenaikan BBM rupiah selalu tercatat melemah. Pada 2005 pelemahannya sekitar 6%, dan 2008 sebesar 15,5%, itu juga karena faktor krisis finansial global.

2013 lebih parah lagi, rupiah jeblok lebih dari 26%, sekali lagi karena ada isu tapering The Fed. Terakhir 2014, pelemahan rupiah tipis 1,8%, tetapi karena BBM baru dinaikkan pada bulan November. Pelemahan rupiah berlanjut hingga 2015, tercatat sekitar 11%.

Memang ada faktor lain yang mempengaruhi jebloknya selain kenaikan harga BBM. Seperti krisis finansial global 2008 dan taper tantrum sejak 2013 hingga 2015. Nah, di tahun depan juga ada risiko besar seperti yang disebutkan sebelumnya, mulai dari kenaikan suku bunga The Fed yang agresif, hingga risiko resesi dunia yang tentunya bisa menekan rupiah.

BI sendiri memprediksi rupiah akan lebih lemah di 2023.

"Proyeksi rupiah Rp 14.800 - 15.200 per dolar AS," ungkap Gubernur BI, Perry Warjiyo dalam rapat kerja dengan Badan Anggaran DPR, Selasa (30/8/2022).

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular