Alert! IHSG Kudu Waspada, Bursa Asia Dibuka Anjlok

Chandra Dwi Pranata, CNBC Indonesia
Rabu, 07/09/2022 08:47 WIB
Foto: Bursa Hong Kong (REUTERS/Bobby Yip)

Jakarta, CNBC Indonesia - Bursa Asia-Pasifik dibuka cenderung melemah pada perdagangan Rabu (7/9/2022), jelang rilis data perdagangan China dan pertumbuhan ekonomi Australia pada kuartal II-2022.

Indeks Nikkei Jepang dibuka melemah 0,33%, Hang Seng Hong Kong ambles 1,39%, Shanghai Composite China terkoreksi 0,46%, Straits Times Singapura terpangkas 0,63%, ASX 200 Australia terdepresiasi 0,38%, dan KOSPI Korea Selatan drop 0,59%.

Dari Australia, data pertumbuhan ekonomi atau produk domestik bruto (PDB) pada kuartal II-2022 akan dirilis pada hari ini. Pasar memperkirakan PDB Negeri Kanguru pada kuartal II-2022 tumbuh menjadi 3,5% secara tahunan (year-on-year/YoY) dan tumbuh 1,1% secara kuartalan (quarter-on-quarter/QoQ).


Sementara itu dari China, data neraca perdagangan pada periode Agustus 2022 juga akan dirilis pada hari ini. Data ini akan diperhatikan oleh pelaku pasar di Asia-Pasifik sebagai tolok ukur yang dapat mempengaruhi perekonomian China.

Hal ini karena ekonomi China masih berpotensi melambat karena masih adanya kebijakan zero-Covid atau nol Covid-19.

Bursa Asia-Pasifik yang cenderung melemah terjadi di tengah koreksinya bursa saham AS, Wall Street pada perdagangan Selasa kemarin, setelah perdagangan awal pekan ini libur memperingati Hari Buruh (Labour Day).

Indeks Dow Jones melemah 0,55% ke posisi 31.145,3, S&P 500 terkoreksi 0,41% ke 3.908,19, dan Nasdaq Composite merosot 0,74% menjadi 11.544,91.

Meski Wall Street kembali terkoreksi, tetapi ada kabar baik dari ISM PMI bidang jasa yang naik ke posisi 56,9 di bulan Agustus 2022 lebih baik ketimbang bulan Juli di angka 56,7.

Angka ini tentunya lebih ciamik dibandingkan dengan konsensus yang memprediksi PMI jasa di angka 55,1. Rilis ini menunjukkan aktivitas jasa yang terkuat sepanjang 4 bulan terakhir.

Akhir bulan ini, bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) akan kembali mengumumkan kebijakan suku bunga acuannya. Pelaku pasar mengantisipasi The Fed akan mengerek suku bunga acuannya sebesar 75 basis poin (bp) dengan probabilitas mencapai 72%.

Selain The Fed, dalam waktu dekat investor juga menanti kebijakan moneter bank sentral Eropa (European Central Bank/ECB). Kamis pekan ini, para bos ECB akan bertemu dan memutuskan suku bunga acuan mereka.

Konsensus yang dihimpun oleh Trading Economics memperkirakan ECB akan menaikkan suku bunga acuan sebesar 75 basis poin (bp) menjadi 1,25%.

Ekspektasi tersebut selain merespons tekanan inflasi yang tinggi juga berpotensi masih akan meningkat. Apalagi Rusia kini semakin membatasi pasokan gas untuk Eropa.

Belum lama ini, 'BUMN' gas Negeri Beruang Merah, Gazprom menyatakan akan menghentikan aliran gas ke Eropa sampai waktu yang belum diketahui dengan alasan perawatan (maintenance).

Bahkan terbaru, sanksi ekonomi yang diberikan oleh Barat merupakan penyebab diberhentikannya pasokan gas ke Eropa hingga waktu yang belum ditentukan.

"Problem pemompaan muncul akibat sanksi yang diberlakukan akibat negara kami oleh beberapa perusahaan negara Barat, termasuk Jerman dan Britania Raya," ujar juru bicara Kremlin Dmitry Peskov Senin kemarin, dikutip dari Interfax.

Akibat hal tersebut, harga gas Eropa melonjak dan mata uangnya yaitu Euro pun melemah. Kini untuk 1 Euro sudah jatuh di bawah US$ 1.

Penguatan dolar inilah yang juga membebani kinerja saham-saham AS dan membuatnya rontok. Dengan suku bunga yang masih akan terus meningkat, prospek pertumbuhan ekonomi dan laba akan melambat. Oleh sebab itu terjadi penurunan valuasi saham-sahamnya.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(chd/vap)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Bursa Asia Anjlok Usai Trump Umumkan Tarif Impor Jepang-Korsel