Bursa Asia Ditutup Cerah, Australia Mendung Pasca Bunga Naik
Jakarta, CNBC Indonesia - Mayoritas bursa Asia-Pasifik ditutup menguat pada perdagangan Selasa (6/9/2022), di tengah liburnya bursa saham Amerika Serikat (AS) pada Senin kemarin karena adanya libur Hari Buruh.
Indeks Nikkei Jepang ditutup naik tipis 0,02% ke posisi 27.626,51, Shanghai Composite China melonjak 1,36% ke 3.243,45, Straits Times Singapura menguat 0,27% ke 3.224,18, KOSPI Korea Selatan terapresiasi 0,26% ke 2.410,02 dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berakhir naik tipis 0,02% menjadi 7.233,155.
Sementara untuk indeks Hang Seng Hong Kong turun 0,12% ke posisi 19.202,73 dan ASX 200 Australia melemah 0,38% menjadi 6.826,5.
Dari Australia, bank sentral (Reserve Bank of Australia/RBA) sesuai prediksi mengerek suku bunga acuannya sebesar 50 basis poin (bp) menjadi 2,35% pada hari ini.
Pasar sudah memperkirakan RBA akan menaikkan suku bunga menjadi 2,35%, tertinggi sejak Desember 2014, guna meredam inflasi.
Sementara itu, perekonomian Australia seperti dilanda dilema. Tingkat penganggurannya sebesar 3,4%, terendah dalam 50 tahun terakhir. Tetapi, hal ini terjadi akibat kurangnya tenaga kerja. Di sisi lain, inflasi yang tinggi membuat bank sentralnya terus mengerek suku bunga.
Pasar tenaga kerja yang ketat tentunya membuat upah naik lumayan tinggi, yang tentunya menguntungkan bagi pekerja, tetapi tidak dengan dunia usaha.
Terbukti, penjualan ritel Australia masih tumbuh tinggi saat inflasi juga sangat tinggi. Inflasi berdasarkan consumer price index (CPI) pada kuartal II-2022 sebesar 6,1% yang merupakan level tertinggi dalam 21 tahun terakhir.
Kabar buruknya, inflasi diperkirakan belum akan melandai, apalagi dengan belanja konsumen yang kuat.
Data yang dirilis Biro Statistik Australia pada Senin kemarin menunjukkan penjualan ritel Agustus tumbuh 1,3% dari bulan sebelumnya menjadi AU$ 34,7 miliar, jauh di atas ekspektasi kenaikan 0,3%. Pertumbuhan tersebut menjadi yang tertinggi dalam 4 bulan terakhir.
"Jelas konsumen Australia tidak melempar handuk menghadapi kenaikan harga dan tingginya suku bunga," kata Marcel Thieliant, ekonom senior di Capital Economics, sebagaimana dilansir CNBC International.
Dengan inflasi Australia yang masih berpotensi meninggi, maka Gubernur RBA, Philip Lowe, mengatakan ke depannya suku bunga akan terus dinaikkan.
"Anggota dewan gubernur memperkirakan dalam beberapa bulan ke depan suku bunga akan kembali dinaikkan. Besar dan waktu kenaikan akan tergantung dari rilis data ekonomi, dan penilaian anggota dewan terhadap outlook inflasi dan pasar tenaga kerja," kata Lowe.
Pelaku pasar Asia-Pasifik cenderung memfokuskan perhatiannya ke bursa saham Eropa, karena pasar keuangan AS libur memperingati Hari Buruh (Labour Day).
Di Eropa, pada perdagangan kemarin, indeks saham acuannya mengalami pelemahan yang cukup dalam. Indeks Pan Eropa Stoxx600 melemah lebih dari 1%. Sedangkan indeks saham Jerman GDAX ambrol dalam dengan koreksi 2,22% dan indeks di Perancis CAC ambrol 1,2%.
Meskipun demikian FTSE berhasil menanjak naik setelah seharian diperdagangkan terkoreksi dan akhirnya ditutup hijau tipis 0,09% di akhir perdagangan.
Pada hari ini, bursa Eropa dibuka cenderung menguat setelah terkoreksi kemarin. Investor di kawasan Eropa masih mengamati potensi resesi di wilayahnya.
Koreksinya bursa Eropa pada Senin kemarin terjadi karena investor masih mengevaluasi serangkaian tantangan ekonomi yang di hadapinya, setelah perusahaan BUMN gas asal Rusia GazProm menyetop pasokan gasnya dari pipa Nord Stream 1 mulai dari 31 Agustus 2022 hingga waktu yang belum ditentukan.
Akibatnya, harga listrik di Eropa telah mengalami kenaikan hingga tujuh kali lipat dan harga gas melesat sepuluh kali lipat. Hal tersebut turut meningkatkan prediksi jika inflasi akan melonjak kembali di Eropa.
Padahal, inflasi di kawasan Eropa pada Agustus 2022 telah mencapai 9,1% dan menjadi yang tertinggi sepanjang sejarah.
Katalis negatif tersebut juga menekan laju mata uang euro, di mana sempat menyentuh US$ 0,9875, merosot 0,76% di pasar spot.
Level tersebut merupakan yang terlemah sejak Desember 2002. Sepanjang tahun ini euro sudah jeblok sekitar 13% melawan dolar AS. Artinya mata uang 19 negara ini semakin dekat dengan rekor terendahnya sepanjang sejarah.
Selain itu, pasar juga mengantisipasi kebijakan moneter bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) yang masih akan hawkish. Bos The Fed, Jerome Powell menyampaikan bahwa bank sentral bersiap mengambil kebijakan restriktif untuk membawa inflasi kembali ke target 2%.
Dengan komentar tersebut, pelaku pasar masih memperkirakan bahwa The Fed akan menaikkan suku bunga acuan sebesar 75 bp pada pertemuan September ini.
Tak hanya The Fed saja, pasar juga memperkirakan bahwa bank sentral Eropa (European Central Bank/ECB) juga akan kembali menaikkan suku bunga acuannya sebesar 50 basis poin (bp) di pertemuan pada Kamis mendatang.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(chd/vap)