
Dolar AS Lesu Lagi, Rupiah Jadi Juara 2 di Asia!

Jakarta, CNBC Indonesia - Kurs rupiah berhasil menguat di hadapan dolar Amerika Serikat (AS) hingga di pertengahan perdagangan Selasa (06/9/2022). Terkoreksinya dolar AS di pasar spot, membuka jalur penguatan Mata Uang Garuda.
Mengacu pada data Refinitiv, rupiah menguat pada pembukaan perdagangan sebanyak 0,17% ke 14.875/US$. Kemudian, rupiah memangkas penguatannya menjadi hanya 0,13% ke Rp 14.880/US$ pada pukul 11:00 WIB.
Secara year to date, Mata Uang Garuda telah terkoreksi sebanyak 4,3% terhadap si greenback. Meski begitu, pelemahan rupiah masih jauh lebih kecil ketimbang mayoritas mata uang di Asia. Rupiah berhasil menduduki juara ketiga, di mana hanya kalah dengan dolar Hong Kong dan dolar Singapura yang melemah masing-masing sebesar 0,7% dan 3,7% terhadap dolar AS.
Sementara itu, indeks dolar AS yang mengukur kinerja si greenback terhadap enam mata uang dunia lainnya, pada Senin (5/9) sempat menyentuh rekor tertinggi barunya ke 110,27 dan menjadi posisi tertinggi sejak Juni 2002.
Namun, pada pukul 11:00 WIB, indeks dolar AS terpantau melemah 0,17% ke 109,63. Pelemahan dolar AS masih dibatasi karena ketidakpastian ekonomi global yang masih membayangi. Diketahui, dolar AS merupakan salah satu mata uang yang kaya akan nilai lindung, sehingga permintaan pun akan terus terjaga ketika situasi ekonomi global memburuk.
Situasi perekonomian global kembali terancam setelah perusahaan BUMN asal Rusia GazProm menghentikan pasokan gas nya ke Eropa sejak 31 Agustus 2022 hingga saat ini. Gazprom mengatakan ada masalah teknis dengan kompresor pipa dan membutuhkan perbaikan lagi.
Diketahui, Gazprom memasok sebanyak 35% dari kebutuhan gas ke Benua Biru, meskipun telah menurunkan pasokannya menjadi 20% pada Juni 2022.
Akibatnya, negara-negara Eropa dan Jerman kembali mengalami lonjakan pada harga energi. Bahkan, harga listrik di Jerman mencatatkan rekor tertinggi sepanjang masa, naik tujuh kali lipat dibandingkan tahun 2021.
Hal tersebut tentunya akan kembali mendorong angka inflasi. Presiden Bundesbank, Joachim Nagel memprediksikan inflasi Jerman akan menembus dobel digit dan ke level tertinggi dalam 70 tahun terakhir.
Sementara, bank sentral Eropa (ECB) akan menggelar diskusi untuk membahas kebijakan moneternya pada Kamis (8/9) dan diprediksikan akan kembali menaikkan suku bunga acuannya sebanyak 50 basis poin (bps). Kenaikan suku bunga acuan dibarengi dengan inflasi yang tinggi, tentunya akan membatasi daya beli masyarakat dan dapat membawa ekonomi Eropa menuju zona resesi.
Terkoreksinya dolar AS di pasar spot, nyatanya hanya membuat empat mata uang di Asia menguat. Baht Thailand menjadi mata uang berkinerja terbaik, di mana terapresiasi sebanyak 0,25% terhadap dolar AS. Kemudian disusul oleh rupiah, menguat 0,13% di hadapan si greenback.
Sementara, dolar Taiwan dan yuan China terkoreksi yang masing-masing sebesar 0,21% dan 0,1% terhadap dolar AS.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aaf/aaf) Next Article Nasib Suku Bunga Fed Bisa Makin Jelas Besok, Rupiah KO Lagi?