Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah batal menguat melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Senin (5/9/2022). Saat pembukaan pagi tadi, rupiah sebenarnya langsung menguat 0,1%, memunculkan harapan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) subsidi jenis Pertalite dan Solar disambut baik oleh pelaku pasar.
Nyatanya, seiring berjalannya waktu rupiah malah berbalik melemah hingga 0,23% ke Rp 14.930/US$. Di penutupan perdagangan, rupiah berada di Rp 14.900/US$, melemah 0,03% di pasar spot, melansir data Refinitiv.
Seperti diketahui, Presiden Joko Widodo (Jokowi) akhirnya memutuskan menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Harga Pertalite diputuskan naikdari Rp7.650 jadi 10.000 per liter, naik sekitar 30%.
"Ini adalah pilihan terakhir pemerintah, yaitu mengalihkan subsidi BBM. Sehingga harga beberapa jenis BBMyang selama ini subsidi akan alami penyesuaian," kata Jokowi dalam Konferensi Pers Presiden Jokowi dan Menteri Terkait perihal Pengalihan Subsidi BBM ditayangkan akun Youtube Sekretariat Presiden, Sabtu (3/9/2022).
Jika berkaca dari kenaikan BBM subsidi sebelumnya, rupiah selalu menjadi korban. Tetapi, respon awal yang ditunjukkan hari ini justru penguatan.
Investor asing yang dikatakan lebih senang dengan kenaikan harga BBM subsidi bisa jadi memicu penguatan rupiah.
"Walaupun kebijakan tersebut dapat meningkatkan inflasi, menaikkan suku bunga, dan merugikan konsumsi rumah tangga dalam jangka pendek, kebijakan tersebut akan menghilangkan kebijakan menggantung yang membuat orang asing enggan membeli aset dalam rupiah," papar Kepala Ekonom Bahana Sekuritas Putera Satria Sambijantoro dan tim dalam tulisannya, Jumat (26/8/2022).
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Dolar AS Sedang Kuat-kuatnya
Sementara itu dari eksternal dolar AS masih perkasa setelah rilis data tenaga kerja, hal ini membuat rupiah akan sulit melaju kencang.
Departemen Tenaga Kerja AS Jumat pekan lalu melaporkan sepanjang bulan Agustus, perekonomian AS dilaporkan mampu menyerap tenaga kerja di luar sektor pertanian (non-farm payrolls/NFP) sebesar 315.000 orang, sedikit di bawah estimasi Dow Jones 318.000 orang.
Meski demikian, data tersebut sudah cukup menunjukkan jika pasar tenaga kerja AS masih kuat meski The Fed sudah 4 kali menaikkan suku bunga dengan total 225 basis poin menjadi 2,25% - 2,5%.
Tingkat pengangguran dilaporkan naik menjadi 3,7% sementara rata-rata upah naik 0,3% month-on-month dan 5,2% year-on-year.
Data tenaga kerja bulan Agustus menjadi penting, sebab akan menjadi pertimbangan bank sentral AS (The Fed) sebelum kembali menaikkan suku bunga bulan ini.
Data ini akan membantu The Fed untuk memutuskan apakah kembali menaikkan suku bunga sebesar 75 basis poin, atau lebih tinggi, dan apakah itu lebih tepat ketimbang 50 basis poin.
Sebelumnya ketua The Fed, Jerome Powell, yang mengatakan akan terus menaikkan suku bunga dan menahannya di level tinggi sampai inflasi mencapai 2%.
The Fed tidak hanya agresif dalam menaikkan suku bunga, tetapi juga mengurangi nilai neracanya (balance sheet) atau yang disebut quantitative tightening (QT).
Saat pandemi Covid-19 melanda, The Fed menerapkan program pembelian surat berharga (quantitative easing/QE) yang membuat balance sheet The Fed naik tajam, nyaris mencapai US$ 9 triliun, dibandingkan sebelum pandemi sekitar US$ 4,1 triliun.
Artinya, The Fed menyuntikkan likuiditas sekitar US$ 4,8 miliar sejak awal pandemi.
Kini dengan dimulainya normalisasi kebijakan, The Fed menerapkan QT atau pengurangan nilai neraca artinya The Fed menjual surat berharga yang dimiliki, sehingga menyerap likuiditas di perekonomian.
Nilai balance sheet The Fed pun mulai menurun, menjadi sekitar US$ 8,85 triliun pada 22 Agustus lalu.
Di bulan ini, The Fed meningkatkan nilai QT dari sebelumnya US$ 45 miliar per bulan, menjadi US$ 95 miliar per bulan, yang artinya likuiditas di perekonomian semakin besar diserap, dolar AS pun kuat.
TIM RISET CNBC INDONESIA