
Citi Ramal Minyak Mentah ke US$ 45, Pertalite Bisa Turun?

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah akhirnya memutuskan menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) subsidi jenis Pertalite dan Solar. Salah satu alasannya adalah harga minyak mentah yang meroket dan menyebabkan subsidi membengkak.
Akhir pekan lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) memutuskan menaikkan harga Pertalite naik Rp7.650 jadi 10.000 per liter, naik sekitar 30%. Kemudian Solar subsidi dari Rp5.150 pe liter jadi Rp6.800 per liter, Pertamax nonsubsidi naik dari Rp12.000 jadi Rp14.500 per liter.
"Ini adalah pilihan terakhir pemerintah, yaitu mengalihkan subsidi BBM. Sehingga harga beberapa jenis BBM yang selama ini subsidi akan alami penyesuaian," kata Jokowi dalam Konferensi Pers Presiden Jokowi dan Menteri Terkait perihal Pengalihan Subsidi BBM ditayangkan akun Youtube Sekretariat Presiden, Sabtu (3/9/2022).
Jokowi mengaku tetap ingin agar harga BBM tetap berada pada level saat ini. Namun, Jokowi menegaskan kas keuangan negara sudah menanggung beban yang cukup berat, karena beban subsidi BBM yang naik hingga tiga kali lipat.
"Saya sebetulnya ingin harga BBM dalam negeri tetap terjangkau dengan memberikan susbidi dari APBN, tetapi anggaran subsidi dan kompensasi tahun 2022 telah meningkat 3 kali lipat dari Rp 152,5 triliun menjadi Rp 502,4 triliun," katanya.
Harga minyak mentah yang tinggi, plus nilai tukar rupiah yang melemah menjadi penyebab membengkaknya subsidi di Indonesia.
Harga minyak mentah dunia memang meroket di tahun ini. Berdasarkan data Refinitiv, minyak mentah jenis Brent pada 7 Maret lalu sempat nyaris menyentuh US$ 140/barel, level tertinggi dalam 14 tahun terakhir. di saat yang sama, minyak West Texas Intermediate (WTI) menyentuh US$ 130/barel, juga berada di level tertinggi sejak Juli 2008.
Namun, setelah mencapai level tersebut, harga minyak mentah justru menurun. Jumat (2/9/2022), Brent menyentuh US$ 93.02/barel sementara WTI US$ 88,72/barel. Artinya, dari rekor tertinggi 14 tahun, Brent sudah merosot lebih dari 33% dan WTI lebih dari 31%.
Bagaimana arah harga minyak mentah ke depannya masih belum jelas, banyak faktor yang mempengaruhi utamanya perang Rusia - Ukraina. Pendapatan para analis pun terbelah. JP Morgan misalnya, memberikan skenario terburuk dampak perang tersebut, minyak mentah diperkirakan akan meroket menyentuh US$ 380/barel.
Sebaliknya, Citigroup justru memprediksi harga minyak mentah akan terus menurun. Di akhir tahun ini, Citigroup memprediksi minyak akan menyentuh US$ 65/barel, dan di akhir 2023 US$ 45/barel.
Penyebabnya, adalah risiko resesi. Ketika resesi terjadi, maka permintaan minyak mentah akan turun.
"Untuk minyak mentah, bukti sejarah menunjukkan permintaan akan menjadi negatif ketika dunia mengalami resesi yang buruk. Tetapi, harga minyak mentah selalu turun saat terjadi resesi," kata analis Citi dalam sebuah catatan yang dirilis 5 Juli lalu.
Isu resesi tersebut yang juga membuat harga minyak mentah merosot dari level tertinggi 14 tahun. Artinya, tidak menutup kemungkinan prediksi Citigroup menjadi kenyataan jika resesi benar-benar terjadi.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Harga Pertalite Bisa Turun?