Tak "Lempar Handuk" Lawan Inflasi, Dolar Australia Ngegas?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
05 September 2022 11:10
Ilustrasi dolar Australia (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)
Foto: Ilustrasi dolar Australia (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Australia menjadi salah satu negara yang diperkirakan akan mengalami resesi akibat tingginya inflasi. Meski demikian, konsumen di Negeri Kanguru tidak "lempar handuk", konsumsi justru mengalami peningkatan di bulan Agustus.

Data yang dirilis Biro Statistik Australia pada Senin (5/9/2022) pagi menunjukkan penjualan ritel Agustus tumbuh 1,3% dari bulan sebelumnya menjadi AU$ 34,7 miliar, jauh di atas ekspektasi kenaikan 0,3%. Pertumbuhan tersebut menjadi yang tertinggi dalam 4 bulan terakhir.

"Jelas konsumen Australia tidak melempar handuk menghadapi kenaikan harga dan tingginya suku bunga," kata Marcel Thieliant, ekonom senior di Capital Economics, sebagaimana dilansir CNBC International.

Dibandingkan Agustuis 2021, penjualan ritel melesat 16,5%.

"Tingginya penjualan ritel menggambarkan melonjaknya pendapatan tenaga kerja, pertumbuhan pekerja sangat kuat begitu juga dengan tingkat saving rumah tangga tinggi," ujar Thieliant.

Meski demikian, dolar Australia tak mampu menguat melawan rupiah. Pada pukul 10:18 WIB diperdagangkan Rp 10.086/AU$, melemah 0,56% di pasar spot, melansir data Refinitiv.

Inflasi berdasarkan consumer price index (CPI) Australia diperkirakan masih akan terus menanjak dan mencapai puncaknya sebesar 7,75% pada kuartal IV-2022, dari kuartal II-2022 sebesar 6,1% yang merupakan level tertinggi dalam 21 tahun terakhir.

Inflasi diperkirakan baru akan mencapai target bank sentral Australia (Reserve Bank of Australia/RBA) 2% - 3% pada akhir 2024.

Guna meredam inflasi, RBA sudah menaikkan suku bunga 4 bulan beruntun. Di awal Agustus lalu RBA menaikkan suku bunga sebesar 50 basis poin menjadi 1,85%, yang merupakan level tertinggi dalam 6 tahun terakhir. Kenaikan suku bunga dalam 4 bulan beruntun menjadi yang paling agresif sejak awal 1990.

Suku bunga yang tinggi tersebut diperkirakan akan membawa Australia ke jurang resesi.

"Banyak bank sentral saat ini mandatnya pada dasarnya berubah menjadi tunggal, yakni menurunkan inflasi. Kredibilitas kebijakan moneter merupakan aset yang sangat berharga yang tidak boleh hilang, sehingga bank sentral akan agresif menaikkan suku bunga," kata Rob Subbraman, kepala ekonom Nomura dalam acara Street Signs Asia CNBC International, Selasa (5/7/2022).

Subbraman memproyeksikan dalam 12 bulan ke depan zona euro, Inggris, Jepang, Australia, Kanada dan Korea Selatan juga akan mengalami resesi.

TIM RISET CNBC INDONESIA 


(pap/pap) Next Article Dolar Australia Tak Mampu Tembus Rp 10.700/AU$, Ada Apa?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular