The Fed Disebut Salah Langkah, Wall Street Babak Belur?
Jakarta, CNBC Indonesia - Bursa saham Amerika Serikat (AS) atau Wall Street menguat di awal perdagangan Jumat (2/8/2022). Pasar tenaga kerja AS yang masih kuat meski The Fed (bank sentral AS) sangat agresif menaikkan suku bunga, memberikan harapan perekonomian AS tidak akan mengalami resesi. Meski demikian, beberapa analis melihat adanya risiko The Fed yang salah langkah dalam mengambil kebijakan, yang membuat Wall Street babak belur di pekan ini.
Indeks Dow Jones dibuka menguat 0,5%, sementara S&P 500 dan Nasdaq naik masing-masing 0,6%. Sepanjang pekan ini belum pernah Wall Street dibuka langsung melesat dengan persentase di atas 0,5%.
Pelaku pasar menyambut baik rilis data tenaga kerja. Sepanjang bulan Agustus, perekonomian AS dilaporkan mampu menyerap tenaga kerja di luar sektor pertanian (non-farm payrolls/NFP) sebesar 315.000 orang, sedikit di bawah estimasi Dow Jones 318.000 orang. Meski demikian, data tersebut sudah cukup menunjukkan jika pasar tenaga kerja AS masih kuat meski The Fed sudah 4 kali menaikkan suku bunga dengan total 225 basis poin menjadi 2,25% - 2,5%.
Tingkat pengangguran dilaporkan naik menjadi 3,7% sementara rata-rata upah naik 0,3% month-on-month dan 5,2% year-on-year.
Data tenaga kerja bulan Agustus menjadi penting, sebab akan menjadi pertimbangan The Fed sebelum kembali menaikkan suku bunga bulan ini. Data ini akan membantu The Fed untuk memutuskan apakah kembali menaikkan suku bunga sebesar 75 basis poin, atau lebih tinggi, dan apakah itu lebih tepat ketimbang 50 basis poin.
Sebelumnya ketua The Fed, Jerome Powell, yang mengatakan akan terus menaikkan suku bunga dan menahannya di level tinggi sampai inflasi mencapai 2% membuat Wall Street babak belur.
Beberapa analis bahkan melihat ada risiko The Fed salah ambil kebijakan.
The Fed tidak hanya agresif dalam menaikkan suku bunga, tetapi juga mengurangi nilai neracanya (balance sheet) atau yang disebut quantitative tightening (QT).
Saat pandemi Covid-19 melanda, The Fed menerapkan program pembelian surat berharga (quantitative easing/QE) yang membuat balance sheet The Fed naik tajam, nyaris mencapai US$ 9 triliun, dibandingkan sebelum pandemi sekitar US$ 4,1 triliun.
Artinya, The Fed menyuntikkan likuiditas sekitar US$ 4,8 miliar sejak awal pandemi, yang menjadi salah satu pemicu bangkitnya perekonomian AS, serta Wall Street yang berkali-kali mencetak rekor tertinggi sepanjang masa.
Kini dengan dimulainya normalisasi kebijakan, The Fed menerapkan QT atau pengurangan nilai neraca artinya The Fed menjual surat berharga yang dimiliki, sehingga menyerap likuiditas di perekonomian.
Nilai balance sheet The Fed pun mulai menurun, menjadi sekitar US$ 8,85 triliun pada 22 Agustus lalu.
QE membuat balance sheet naik, dan secara tidak langsung mendorong pasar saham meroket. Sebaliknya QT bisa menurunkan balance sheet, dan bisa menyeret turun pasar saham.
Di bulan ini, The Fed meningkatkan nilai QT dari sebelumnya US$ 45 miliar per bulan, menjadi US$ 95 miliar per bulan.
Michael Howell, CEO CrossBorder Capital yang berbasis di London mengatakan QT yang sangat masif bisa berdampak pada stabilitas finansial.
Howell percaya bank sentral di berbagai negara terlalu cepat menyerap likuditas di pasar finansial. Ia juga menyoroti perubahan sikap bank sentral Eropa (European Central Bank/ECB) yang menjadi lebih hawkish yang bisa memicu gejolak nilai tukar euro dan pada akhirnya berdampak pada keseimbangan likuiditas bank sentral di 2023.
"Pada satu tahap di 2023, The Fed akan dipaksa mencari keseimbangan dengan menaikkan kembali balance sheet, dolar akan melemah. Sampai saat itu tercapai dalam beberapa bulan ke depan kita akan melihat QT yang besar. Itu akan membuat takut pasar," kata Howell, sebagaimana dilansir CNBC International, Kamis (31/8/2022).
Kekhawatiran akan QT juga diungkapkan kepala ekonomi perusahaan audit Mazars, George Lagarias. Ia mendorong investor untuk melupakan apa yang didengar dari ketua The Fed, Jerome Powell pada simposium Jackson Hole, dan fokus pada aset The Fed sebagai leading indicator.
"Apakah The Fed akan menyerap likuiditas di pasar lebih cepat? Niat mereka sebenarnya akan terlihat di lapangan, bukan dari omongan," kata Lagarias.
"Investor harus khawatir terhadap implikasi jangka panjang dari stance The Fed. Pelambatan ekonomi bisa menjadi resesi dalam. Inflasi bisa menjadi deflasi," tambahnya.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)