Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan rupiah berakhir di zona merah pada perdagangan Kamis kemarin. Sementara Surat Berharga Negara (SBN) bervariasi.
Kabar baik dari dalam negeri belum mampu mendongkrak IHSG dan rupiah, mengindikasikan sentimen pelaku pasar secara global yang kurang bagus. Salah satu penyebabnya, para pelaku pasar merasa kebijakan yang diambil bank sentral di dunia saat ini error atau salah.
Seperti apa kebijakan yang dikatakan error tersebut yang mempengaruhi pergerakan pasar hingga perdagangan Jumat (2/8/2022) dibahas di halaman 3.
Bursa saham global terpuruk di pekan ini merespon pernyataan-pernyataan dari pejabat elit bank sentral. Namun, kinerja IHSG masih cukup bagus, dalam 4 hari perdagangan menguat dan melemah masing-masing sebanyak 2 kali.
Di awal perdagangan kemarin, IHSG juga sempat menguat sebelum berbalik melemah 0,36% ke 7.153,104. Meski demikian, dalam 4 hari perdagangan IHSG masih mencatat penguatan 0,25%.
Sementara itu rupiah melemah 0,27% melawan dolar Amerika Serikat (AS) ke Rp 14.880/US$ kemarin. Kinerja rupiah juga cukup bagus di pekan ini, melemah dua kali dan menguat serta stagnan masing-masing satu kali. Dalam sepekan, rupiah tercatat melemah 0,44%.
Dari pasar obligasi, mayoritas SBN kemarin mengalami penguatan terlihat dari penurunan imbal hasilnya (yield).
Hanya tenor 5 dan 10 taun yang yield-nya naik atau mengalami pelemahan.
Kabar baik datang dari sektor manufaktur Indonesia yang mampu membuat IHSG menguat di awal perdagangan kemarin. S&P Global melaporkan purchasing managers' index (PMI) manufaktur naik menjadi 51,7 pada Agustus, dari bulan sebelumnya 51,3.
Kenaikan tersebut menjadi kabar bagus, artinya roda perekonomian Indonesia berputar lebih kencang.
"Menurut data survei PMI terkini, perusahaan manufaktur di Indonesia mencatat perbaikan lebih kuat pada keseluruhan kondisi bisnis pada bulan Agustus. Pertumbuhan yang lebih jelas pada output dan total permintaan baru merupakan tanda-tanda yang menggembirakan bagi kesehatan ekonomi masa mendatang, dengan perusahaan sering menyebutkan kondisi permintaan yang lebih kuat," kata Laura Denman, Ekonom di S&P Global Market Intelligence
Selain itu, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data indeks harga konsumen (IHK) Indonesia periode Agustus 2022. Secara bulanan memang terjadi deflasi, tetapi secara tahunan inflasi tetap berada di level tinggi.
Pada Kamis (1/9/2022), Kepala BPS Margo Yuwono melaporkan terjadi deflasi 0,21% pada Agustus 2022 dibandingkan bulan sebelumnya (month-to-month/mtm). Kali terakhir terjadi deflasi adalah Februari 2022.
Namun dibandingkan Agustus 2021 (year-on-year/yoy), terjadi inflasi 4,69%. Meski masih relatif tinggi, tetapi melambat dibandingkan bulan sebelumnya yang 4,94%, yang merupakan level tertinggi dalam 7 tahun terakhir.
Rilis data inflasi hari ini searah dengan ekspektasi. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan inflasi bulanan pada Agustus 2022 sebesar -0,11% sementara inflasi tahunan 4,83%.
Dunia sedang mengalami masalah inflasi tinggi, termasuk Indonesia meski bisa dikatakan masih terkendali. Sehingga, ketika terjadi deflasi atau melambatnya inflasi, maka akan memberikan sentimen positif ke pasar finansial.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Dow Jones & S&P 500 Akhirnya Menguat, Nasdaq Masih Merah
Bursa saham AS (Wall Street) bervariasi pada perdagangan Kamis waktu setempat. Indeks Dow Jones dan S&P 500 akhirnya mampu menguat, sementara Nasdaq masih merah.
Indeks Dow Jones sukses menguat 0,46% ke 31.656,42, sementara S&P 500 0,36% ke 3.966,85. Keduanya sukses menghentikan pelemahan 4 hari beruntun. Sementara Nasdaq memperpanjang pelemahan menjadi 5 hari beruntun setelah melemah 0,26% ke 11.785,13.
Penguatan Dow Jones dan S&P tidak diraih dengan mudah. Keduanya bersama Nasdaq sempat merosot lebih dari 1% sebelum rebound di menit-menit akhir.
Penyebabnya kemerosotan tersebut masih sama, spekulasi bank sentral AS (The Fed) yang masih tetap agresif menaikkan suku bunga, meski akan berujung resesi di Amerika Serikat. Ketua The Fed, Jerome Powell menegaskan komitmennya untuk membawa inflasi turun ke 2%.
"Menurunkan inflasi perlu periode pertumbuhan ekonomi di bawah tren yang berkelanjutan. Dengan suku bunga tinggi, pertumbuhan ekonomi yang melambat, dan pasar tenaga kerja yang melemah akan membawa inflasi turun. Itu adalah harga yang harus kita bayarkan untuk mengurangi inflasi. Tetapi, kegagalan untuk memulihkan stabilitas harga akan menimbulkan penderitaan yang lebih besar," kata Powell dalam acara simposium Jackson Hole, Jumat (26/8/2022).
Kemudian Presiden The Fed wilayah Cleveland, Loretta Mester pada hari Rabu mengatakan ia melihat suku bunga bisa naik ke atas 4% di awal tahun depan.
Suku bunga The Fed saat ini di 2,25% - 2,5%, dengan 3 kali rapat kebijakan moneter di tahun ini, kemungkinan kenaikan 75 basis poin di bulan ini sangat mungkin terjadi.
"Pandangan saya saat ini, diperlukan suku bunga naik di atas 4% awal tahun depan dan bertahan di level tersebut. Saya juga tidak melihat The Fed akan memangkas suku bunga pada tahun depan," kata Mester sebagaimana dilansir CNBC International, Rabu (31/8/2022).
Dengan kenaikan tersebut, Mester melihat pertubuhan ekonomi akan turun, jauh di bawah 2%, sementara tingkat pengangguran akan mengalami kenaikan. Inflasi di tahun ini diperkirakan sebesar 5% - 6% dan mendekati target The Fed 2% dalam beberapa tahun ke depan.
Pasar finansial juga diperkirakan akan tetap volatil. Sebagian pelaku pasar kini melihat Wall Street berisiko menguji kembali level terendah yang dicapai pada Juni lalu. Saat itu indeks S&P 500 menyentuh kisaran 3.715.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Cermati Sentimen Penggerak Pasar Hari Ini
Wall Street yang belum kompak, apalagi penguatan Dow Jones dan S&P 500 baru diraih di menit-menit akhir menunjukkan sentimen pelaku pasar sebenarnya belum bagus. Apalagi jika melihat bursa saham Eropa yang semuanya merosot lebih dari 1%.
Bursa saham Asia, termasuk IHSG akan kembali dalam tekanan pada hari ini. Rupiah juga berisiko tertekan, sementara SBN masih akan berfluktuasi.
Seperti disebutkan sebelumnya, banyak pelaku pasar mulai takut jika kebijakan yang diambil The Fed dan bank sentral lainnya saat ini salah.
The Fed tidak hanya agresif dalam menaikkan suku bunga, tetapi juga mengurangi nilai neracanya (balance sheet) atau yang disebut quantitative tightening (QT).
Saat pandemi Covid-19 melanda, The Fed menerapkan program pembelian surat berharga (quantitative easing/QE) yang membuat balance sheet The Fed naik tajam, nyaris mencapai US$ 9 triliun, dibandingkan sebelum pandemi sekitar US$ 4,1 triliun.
Artinya, The Fed menyuntikkan likuiditas sekitar US$ 4,8 miliar sejak awal pandemi, yang menjadi salah satu pemicu bangkitnya perekonomian AS, serta Wall Street yang berkali-kali mencetak rekor tertinggi sepanjang masa.
Kini dengan dimulainya normalisasi kebijakan, The Fed menerapkan QT atau pengurangan nilai neraca artinya The Fed menjual surat berharga yang dimiliki, sehingga menyerap likuiditas di perekonomian.
Nilai balance sheet The Fed pun mulai menurun, menjadi sekitar US$ 8,85 triliun pada 22 Agustus lalu.
QE membuat balance sheet naik, dan secara tidak langsung mendorong pasar saham meroket. Sebaliknya QT bisa menurunkan balance sheet, dan bisa menyeret turun pasar saham.
Di bulan ini, The Fed meningkatkan nilai QT dari sebelumnya US$ 45 miliar per bulan, menjadi US$ 95 miliar per bulan.
Michael Howell, CEO CrossBorder Capital yang berbasis di London mengatakan QT yang sangat masif bisa berdampak pada stabilitas finansial.
Howell percaya bank sentral di berbagai negara terlalu cepat menyerap likuiditas di pasar finansial. Ia juga menyoroti perubahan sikap bank sentral Eropa (European Central Bank/ECB) yang menjadi lebih hawkish yang bisa memicu gejolak nilai tukar euro dan pada akhirnya berdampak pada keseimbangan likuiditas bank sentral di 2023.
"Pada satu tahap do 2023, The Fed akan dipaksa mencari keseimbangan dengan menaikkan kembali balance sheet, dolar akan melemah. Sampai saat itu tercapai dalam beberapa bulan ke depan kita akan melihat QT yang besar. Itu akan membuat takut pasar," kata Howell, sebagaimana dilansir CNBC International, Kamis (31/8/2022).
Kekhawatiran akan QT juga diungkapkan kepala ekonomi perusahaan audit Mazars, George Lagarias. Ia mendorong investor untuk melupakan apa yang didengar dari ketua The Fed, Jerome Powell pada simposium Jackson Hole, dan fokus pada aset The Fed sebagai leading indicator.
"Apakah The Fed akan menyerap likuiditas di pasar lebih cepat? Niat mereka sebenarnya akan terlihat di lapangan, bukan dari omongan," kata Lagarias.
"Investor harus khawatir terhadap implikasi jangka panjang dari stance The Fed. Pelambatan ekonomi bisa menjadi resesi dalam. Inflasi bisa menjadi deflasi," tambahnya.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Rilis Data Ekonomi & Agenda Emiten Hari Ini
Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:
- RUPS PT Petrosea Tbk (PTRO)
- RUPS PT Garuda Maintenance Facility ArAsa Tbk (GMFI)
- RUPS PT BISI International Tbk (BIS)
- Data inflasi Korea Selatan (6:00 WIB)
- Data neraca perdagangan Jerman (13:00 WIB)
- Data tenaga kerja AS (19:30 WIB)
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan Ekonomi (Q2-2021 YoY) | 5,44% |
Inflasi (Agustus 2022 YoY) | 4,69% |
BI-7 Day Reverse Repo Rate (Agustus 2022) | 3,75% |
Surplus Anggaran (APBN 2022 per Juli) | 0,57% PDB |
Surplus/Defisit Transaksi Berjalan (Q2-2022 YoY) | 1,1% PDB |
Surplus/Defisit Neraca Pembayaran Indonesia (Q1-2022 YoY) | US$ 2,4 miliar |
Cadangan Devisa (Juli 2022) | US$ 132,2 miliar |
TIM RISET CNBC INDONESIA