Duh! Rupiah Jeblok Tembus Lagi Rp 14.900/US$

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
02 September 2022 09:12
Ilustrasi dolar Amerika Serikat (USD). (CNBC Indonesia/ Muhammad Sabki)
Foto: Ilustrasi dolar Amerika Serikat (USD). (CNBC Indonesia/ Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah kembali melemah melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Jumat (2/9/2022). Padahal ada dua kabar baik dari dalam negeri Kamis kemarin.

Melansir data Refinitiv, begitu perdagangan dibuka rupiah langsung melemah 0,07% ke Rp 14.890/US$. Sempat berbalik menguat 0,21%, rupiah kembali melemah 0,13% ke Rp 14.900/US$.

S&P Global melaporkan purchasing managers' index (PMI) manufaktur naik menjadi 51,7 pada Agustus, dari bulan sebelumnya 51,3.

Kenaikan tersebut menjadi kabar bagus, artinya roda perekonomian Indonesia berputar lebih kencang.

Selain itu, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data indeks harga konsumen (IHK) Indonesia periode Agustus 2022. Secara bulanan memang terjadi deflasi, tetapi secara tahunan inflasi tetap berada di level tinggi.

Pada Kamis (1/9/2022), Kepala BPS Margo Yuwono melaporkan terjadi deflasi 0,21% pada Agustus 2022 dibandingkan bulan sebelumnya (month-to-month/mtm). Kali terakhir terjadi deflasi adalah Februari 2022.

Namun dibandingkan Agustus 2021 (year-on-year/yoy), terjadi inflasi 4,69%. Meski masih relatif tinggi, tetapi melambat dibandingkan bulan sebelumnya yang 4,94%, yang merupakan level tertinggi dalam 7 tahun terakhir.

Dunia sedang mengalami masalah inflasi tinggi, termasuk Indonesia meski bisa dikatakan masih terkendali. Sehingga, ketika terjadi deflasi atau melambatnya inflasi, maka akan memberikan sentimen positif ke pasar finansial.

Sayangnya, tekanan besar dari ekspektasi kenaikan suku bunga bank sentral AS (The Fed) yang masih tetap agresif menaikkan suku bunga, meski akan berujung resesi di Amerika Serikat. Ketua The Fed, Jerome Powell menegaskan komitmennya untuk membawa inflasi turun ke 2%.

"Menurunkan inflasi perlu periode pertumbuhan ekonomi di bawah tren yang berkelanjutan. Dengan suku bunga tinggi, pertumbuhan ekonomi yang melambat, dan pasar tenaga kerja yang melemah akan membawa inflasi turun. Itu adalah harga yang harus kita bayarkan untuk mengurangi inflasi. Tetapi, kegagalan untuk memulihkan stabilitas harga akan menimbulkan penderitaan yang lebih besar," kata Powell dalam acara simposium Jackson Hole, Jumat (26/8/2022).

Presiden The Fed wilayah Cleveland, Loretta Mester pada hari Rabu mengatakan ia melihat suku bunga bisa naik ke atas 4% di awal tahun depan.

Suku bunga The Fed saat ini di 2,25% - 2,5%, dengan 3 kali rapat kebijakan moneter di tahun ini, kemungkinan kenaikan 75 basis poin di bulan ini sangat mungkin terjadi.

"Pandangan saya saat ini, diperlukan suku bunga naik di atas 4% awal tahun depan dan bertahan di level tersebut. Saya juga tidak melihat The Fed akan memangkas suku bunga pada tahun depan," kata Mester sebagaimana dilansir CNBC International, Rabu (31/8/2022).

Dengan kenaikan tersebut, Mester melihat pertubuhan ekonomi akan turun, jauh di bawah 2%, sementara tingkat pengangguran akan mengalami kenaikan. Inflasi di tahun ini diperkirakan sebesar 5% - 6% dan mendekati target The Fed 2% dalam beberapa tahun ke depan.

Pasar finansial juga diperkirakan akan tetap volatil. Hal tersebut tentunya lebih menguntungkan bagi dolar AS yang menyandang status safe haven.

TIM RISET CNBC INDONESIA 


(pap/pap) Next Article Rupiah Dekati Rp 15.000/US$, Begini Kondisi Money Changer

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular