Bursa Asia 'Ngenes', Siap-siap IHSG Tongpes!

Chandra Dwi Pranata, CNBC Indonesia
01 September 2022 08:44
An electronic board shows Hong Kong share index outside a local bank in Hong Kong, Wednesday, Jan. 16, 2019. Asian markets are mixed as poor Japanese data and worries about global growth put a damper on trading. (AP Photo/Vincent Yu)
Foto: Bursa Hong Kong (AP Photo/Vincent Yu)

Jakarta, CNBC Indonesia - Bursa Asia-Pasifik dibuka cenderung terkoreksi pada perdagangan Kamis (1/9/2022), menyusul kembali bursa saham Amerika Serikat (AS) yang masih terkoreksi hingga perdagangan Rabu kemarin.

Indeks Nikkei Jepang dibuka merosot 1,05%, Hang Seng Hong Kong ambles 1,16%, Shanghai Composite China melemah 0,17%, Straits Times Singapura turun tipis 0,08%, ASX 200 Australia terkoreksi 0,89%, dan KOSPI Korea Selatan ambrol 1,26%.

Dari China, investor akan menanti rilis data aktivitas manufaktur yang tergambarkan pada Purchasing Manager's Index (PMI) periode Agustus 2022 versi Caixin. Konsensus pasar Trading Economics memperkirakan PMI manufaktur China periode bulan ini versi Caixin cenderung turun menjadi 50,2, dari sebelumnya di angka 50,4 pada bulan lalu.

Pada Rabu kemarin, data PMI manufaktur China versi NBS telah dirilis, di mana aktivitas manufaktur bulan ini naik menjadi 49,4, dari sebelumnya di angka 49 pada bulan lalu.

Meski alami peningkatan, namun indeks manufaktur ini masih di level kontraksi karena berada di bawah level 50.

PMI menggunakan angka 50 sebagai ambang batas. Di bawahnya berarti kontraksi, sementara di atasnya ekspansi.

Masih berkontraksinya manufaktur Negeri Panda disebabkan karena China masih menerapkan kebijakan nol Covid-19 atau zero Covid.

Negara yang dipimpin oleh Presiden Xi Jinping itu masih saja menerapkan kebijakan tanpa toleransi (zero tolerance) terhadap Covid-19. Saat ada kluster penularan, maka jalan keluarnya selalu melakukan karantina wilayah alias lockdown.

Ini membuat perekonomian Negeri Panda maju-mundur. Saat 'keran' aktivitas masyarakat mulai dibuka, ekonomi mulai bergeliat, beberapa waktu kemudian 'digembok' lagi. Alhasil, industri di China kembali lesu.

Sementara itu dari Korea Selatan, data final dari pertumbuhan ekonomi atau produk domestik bruto (PDB) pada kuartal II-2022 dilaporkan tidak berubah dari data perkiraan awal yakni sebesar 2,9% secara tahunan (year-on-year/yoy).

Namun pada basis kuartalan (quarter-on-quarter/qoq), PDB final Negeri Ginseng pada kuartal II-2022 direvisi menjadi 0,7%, berdasarkan data dari bank sentral Korea Selatan (Bank of Korea/BoK).

Angka ini sedikit lebih tinggi dari PDB kuartal I-2022 yang sebesar 0,6%, tetapi lebih lambat dari posisi PDB kuartal IV-2021 yang sebesar 1,3%.

Berdasarkan pengeluaran, konsumsi swasta naik 2,9%, sementara investasi konstruksi dan fasilitas tumbuh masing-masing 0,2% dan 0,5%. Namun untuk ekspor menyusut 3,1%.

Bursa Asia-Pasifik yang cenderung melemah terjadi di tengah masih melemahnya bursa saham AS, Wall Street pada perdagangan Rabu kemarin. Wall Street telah terkoreksi selama empat hari beruntun.

Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) ditutup merosot 0,88% ke posisi 31.510,43, S&P 500 melemah 0,78% ke 3.955, dan Nasdaq Composite terkoreksi 0,56%, menjadi 11.816,2.

Aksi jual melanda Wall Street sejak Jumat lalu setelah ketua bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed), Jerome Powell menegaskan akan terus menaikkan suku bunga dan menahannya dalam waktu yang lama sampai inflasi kembali ke 2%.

Bank sentral lain juga akan mengikuti The Fed. Seperti bank sentral Eropa (European Central Bank/ECB) yang juga menunjukkan tanda-tanda akan agresif. Anggota dewan gubernur ECB, Madis Muller mengatakan ECB seharusnya mulai mendiskusikan kenaikan 75 basis poin (bp) di bulan September.

Alhasil risiko resesi dunia menjadi semakin kencang.

Perekonomian AS juga sudah menunjukkan tanda-tanda pelambatan. Menurut data yang dirilis oleh Automatic Data Processing Inc. (ADP) hari ini mengumumkan sektor swasta AS sepanjang bulan Agustus menyerap 132.000 tenaga kerja, turun dari bulan sebelumnya 270.000 tenaga kerja, dan sangat jauh dari estimasi Dow Jones sebesar 300.000 tenaga kerja.

"Data kami menunjukkan pergeseran arah kecepatan perekrutan menjadi lebih konservatif, kemungkinan karena korporasi melihat sinyal-sinyal ekonomi yang tidak sejalan," kata Nela Richardsonl, kepala ekonom ADP, sebagaimana dilansir CNBC International.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(chd) Next Article Perdagangan Perdana di 2024, Bursa Asia Dibuka Beragam

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular