
Kenaikan Pertalite Masih Belum Jelas, Rupiah Bakal Jeblok?

Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah berakhir stagnan melawan dolar Amerika Serikat (AS) di Rp 14.840/US$ Rabu kemarin. Pelaku pasar wait and see terkait kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertalite dan Solar.
Pada perdagangan Kamis (1/9/2022), pasar juga masih menanti pengumuman tersebut. Sampai ada kepastian, nampaknya belum akan ada pergerakan besar di rupiah.
Selain itu, rilis data purchasing managers' index (PMI) manufaktur serta inflasi juga akan menjadi perhatian. Pada Juli, PMI manufaktur tercatat sebesar 51,3, naik dari bulan sebelumnya 50,2.
PMI menggunakan angka 50 sebagai ambang batas. Di atasnya berarti ekspansi, di bawah 50 artinya kontraksi.
Sektor manufaktur Indonesia sudah 11 bulan beruntun berekspansi, jika berhasil diperpanjang lagi bahkan dengan lebih tinggi, tentunya akan menjadi sentimen positif bagi pasar finansial.
Sementara Badan Pusat Statistik (BPS) akan merilis data indeks harga konsumen (IHK). Bukan inflasi tapi diperkirakan terjadi deflasi pada Agustus.
Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia dari 14 institusi memperkirakan pergerakan IHK pada Agustus akan turun atau mencatatkan deflasi sebesar -0,11% dibandingkan bulan sebelumnya (month to month/mtm).Jika ramalan ini benar maka ini akan menjadi deflasi pertama sejak Februari 2022.
Namun, inflasi secara tahunan (year on year/yoy) masih akan tinggi dan menembus 4,83% pada bulan ini.
Inflasi kini menjadi masalah utama di perekonomian dunia. Inflasi yang terlalu tinggi bisa berdampak buruk ke daya beli masyarakat.
Sehingga, ketika terjadi deflasi bisa menjadi angin segar, dan bisa menjadi sentimen positif ke pasar finansial.
Secara teknikal, belum ada perubahan level-level yang harus diperhatikan, mengingat rupiah berakhir stagnan kemarin. Resisten kuat Rp 14.885/US$ hingga Rp 14.890/US$ sekali lagi menahan pelemahan rupiah yang disimbolkan USD/IDR. Resisten tersebut merupakan rerata pergerakan 50 hari (moving average 50/MA50).
Setelah disentuh pada Senin (29/8/2022) rupiah langsung menguat sehari setelahnya.
Sementara itu indikator Stochastic pada grafik harian kini hampir masuk ke wilayah jenuh beli (overbought).
![]() Foto: Refinitiv |
Stochastic merupakan leading indicator, atau indikator yang mengawali pergerakan harga. Ketika Stochastic mencapai wilayah overbought (di atas 80) atau oversold (di bawah 20), maka harga suatu instrumen berpeluang berbalik arah.
Sementara itu stochastic pada grafik 1 jam yang digunakan untuk memproyeksikan pergerakan harian sudah masuk wilayah oversold, sehingga ada risiko pelemahan rupiah.
![]() Foto: Refinitiv |
Support terdekat kini berada di kisaran Rp 14.830/US$, jika diembus rupiah berpeluang menguat ke Rp 14.800/US$ hingga Rp 14.790/US$.
Support kuat berada di kisaran Rp 14.730/US$, yang merupakan Fibonacci Retracement 61,8%.
Fibonacci Retracement tersebut ditarik dari titik terendah 24 Januari 2020 di Rp 13.565/US$ dan tertinggi 23 Maret 2020 di Rp 16.620/US$.
Sementara itu resisten berada di kisaran Rp 14.850/US$ hingga Rp 14.865/US$. Jika ditembus, rupiah berisiko menguji kembali MA 50.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap) Next Article Ini Penyebab Rupiah Menguat 4 Pekan Beruntun, Terbaik di Asia
