
Bursa Saham Amerika 4 Hari Ambrol, Ada Yang Happy Nih!

Jakarta, CNBC Indonesia - Bursa saham Amerika Serikat (AS) atau Wall Street lagi-lagi gagal mencatat penguatan pada perdagangan Rabu (31/8/2022) waktu setempat. Sama seperti hari sebelumnya, di awal perdagangan ketiga indeks utama sebenarnya menguat.
Indeks Dow Jones dibuka menguat 0,4%, S&P 500 0,6% dan Nasdaq memimpin sebesar 0,9%. Tetapi di penutupan berbalik arah, Dow Jones jeblok 0,9% ke 31.510,43, S&P 500 minus 0,8% ke 3.955 dan Nasdaq turun 0,6% ke 11.816,2.
Aksi jual melanda Wall Street sejak Jumat lalu setelah ketua bank sentral AS (The Fed) Jerome Powell menegaskan akan terus menaikkan suku bunga dan menahannya dalam waktu yang lama sampai inflasi kembali ke 2%.
Bank sentral lain juga akan mengikuti The Fed. Bank sentral Eropa (European Central Bank/ECB) juga menunjukkan tanda-tanda akan agresif. Anggota dewan gubernur ECB, Madis Muller mengatakan ECB seharusnya mulai mendiskusikan kenaikan 75 basis poin di bulan September.
Alhasil risiko resesi dunia menjadi semakin kencang.
Perekonomian AS juga sudah menunjukkan tanda-tanda pelambatan. Automatic Data Processing Inc. (ADP) hari ini mengumumkan sektor swasta AS sepanjang bulan Agustus menyerap 132.000 tenaga kerja, turun dari bulan sebelumnya 270.000 tenaga kerja, dan sangat jauh dari estimasi Dow Jones sebesar 300.000 tenaga kerja.
"Data kami menunjukkan pergeseran arah kecepatan perekrutan menjadi lebih konservatif, kemungkinan karena korporasi melihat sinyal-sinyal ekonomi yang tidak sejalan," kata Nela Richardsonl, kepala ekonom ADP, sebagaimana dilansir CNBC International.
Jebloknya Wall Street memang menjadi kabar buruk bagi investor, tetapi di sisi lain bisa menurunkan inflasi lebih cepat. Maklum saja kapitalisasi pasar Wall Street lebih dari US$ 40 triliun, atau dua kali lipat dari produk domestik bruto (PDB) Amerika Serikat.
Ketika Wall Street jeblok, maka warga AS akan merasa lebih "miskin" sehingga menunda belanja. Pada akhirnya, demand pull inflation bisa mulai melandai.
"Tidak ada peluang untuk menurunkan inflasi kecuali The Fed agresif menaikkan suku bunga, atau pasar saham mengalamicrash, yang memicu keruntuhan ekonomi sehingga menurunkan demand," kata triliuner Bill Ackman dalam cuitannya di Twitter yang dikutipCNBC International, Selasa (24/5/2022).
Saat itu Wall Street sedang babak belur, akibat pelaku pasar tidak yakin The Fed akan mampu meredam kenaikan inflasi.
"Jika The Fed tidak melakukan tugas mereka (meredam inflasi dengan menaikkan suku bunga), pasar yang akan melakukan tugas mereka, dan itu terjadi saat ini. Satu-satunya cara untuk menghentikan amukan inflasi adalah dengan menaikkan suku bunga agresif atau meruntuhkan perekonomian," tambah Ackman.
The Fed kini sudah sangat agresif dalam menaikkan suku bunga, sebanyak 4 kali dengan total 225 basis poin menjadi 2,25% - 2,5%. Di bulan ini, Jerome Powell dan kolega diperkirakan akan kembali menaikkan sebesar 75 basis poin, setelah melakukanya dua kali beruntun.
Dengan suku bunga yang dikerek agresif, serta Wall Street yang jeblok, inflasi tentunya bisa semakin cepat melandai. Bank sentral tentunya akan "happy" target stabilitas harga bisa tercapai.
Memang terasa berat, apalagi jika sampai terjadi resesi. Tetapi ketika inflasi sudah mencapai target maka suku bunga bisa kembali perlahan diturunkan ketimbang menghadapi inflasi tinggi selama bertahun-tahun.
"Menurunkan inflasi perlu periode pertumbuhan ekonomi di bawah tren yang berkelanjutan. Dengan suku bunga tinggi, pertumbuhan ekonomi yang melambat, dan pasar tenaga kerja yang melemah akan membawa inflasi turun. Itu adalah harga yang harus kita bayarkan untuk mengurangi inflasi. Tetapi, kegagalan untuk memulihkan stabilitas harga akan menimbulkan penderitaan yang lebih besar," kata Powell dalam acara simposium Jackson Hole, Jumat (26/8/2022).
Philip Marey, analis dari Rabobank juga mengatakan resesi merupakan satu-satunya jalan untuk bisa menurunkan inflasi.
"Resesi adalah sesuatu yang buruk tetapi saat ini diperlukan dan satu-satunya cara untuk mencapai apa yang kita inginkan (penurunan inflasi), dimana masyarakat tidak mengeluarkan lebih banyak uang karena harga barang yang semakin mahal," kata Marey, sebagaimana dilansir Reuters, Senin (22/8/2022).
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap) Next Article Pejabat Elit Fed Sebut Resesi Makin Dekat, Wall Street Merah!