
Mengekor Bursa Asia, IHSG Dibuka Menguat 0,33%

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dibuka di zona hijau pada perdagangan Selasa (30/8/2022). IHSG terpantau menguat 0,33% ke 7.154,51 pada pembukaan perdagangan. Setelah lima menit perdagangan dibuka IHSG terpantau masih menghijau 0,44% ke 7.163,35. Sebenarnya pergerakan IHSG masih dibayangi oleh sentimen negatif secara eksternal.
Bursa saham AS (Wall Street) kembali ambrol pada perdagangan Senin waktu setempat, melanjutkan kinerja buruk Jumat pekan lalu. Indeks saham Dow Jones melemah 0,57% sementara S&P 500 drop 0,67%. Nasib paling apes dialami Nasdaq Composite yang terkoreksi 1%.
Seperti diketahui, sejak Powell berpidato di simposium Jackson Hole Wall Street terus merosot. Jumat lalu ketiga indeks utama jeblok lebih dari 3%.
Sentimen pelaku pasar yang buruk pun meluas ke berbagai belahan bumi. Isu resesi dunia semakin menguat, sebab banyak bank sentral diperkirakan akan mengambil langkah yang sama dengan The Fed guna meredam inflasi.
"Volatilitas pasar ke depannya akan meningkat sebab bank sentral di dunia akan lebih agresif, kata Mohamed El-Erian, kepala penasehat ekonomi Allianz, dalam acara "Squawk Box" CNBC International, Senin (29/8/2022) waktu setempat.
Jebloknya Wall Street lagi-lagi akan mengirim hawa negatif ke pasar Asia hari ini. IHSG berisiko tertekan lagi, begitu juga dengan rupiah dan SBN.
Isu resesi di Amerika Serikat bahkan dunia terus membayangi sentimen pelaku pasar. Saat ini masih ada perdebatan apakah perekonomian AS sudah mengalami resesi atau masih kuat. Sebab biasanya suatu negara dikatakan mengalami resesi ketika produk domestik bruto (PDB) mengalami kontraksi dua kuartal beruntun.
Amerika Serikat sudah mengalaminya, tetapi pasar tenaga kerjanya masih sangat kuat. Alhasil, muncul perdebatan tersebut. Tetapi tidak bisa dipungkiri perekonomian Amerika Serikat sedang sakit, terutama akibat inflasi yang berada di level tertinggi dalam 40 tahun terakhir.
The Fed pun harus mengorbankan perekonomiannya dengan agresif menaikkan suku bunga guna meredam inflasi. Resesi sepertinya pasti akan terjadi.
Hasil survei terbaru dari Reuters menunjukkan para analis melihat perekonomian AS akan mengalami resesi dalam 12 bulan ke depan, dengan probabilitas 45%, naik dari probabilitas dalam survei Juli lalu sebesar 40%.
Selain itu, China yang tingkat inflasinya masih terjaga justru mengalami masalah berbeda. Pemerintah China yang menerapkan kebijakan zero covid, kemudian kekeringan yang melanda membuat pertumbuhan ekonominya diperkirakan merosot. Artinya, China juga sakit seperti AS.
Tanda-tanda perekonomian China sedang sakit terlihat dari PDB di kuartal II-2022 yang hanya tumbuh 0,4% year-on-year (yoy). Memang China masih menerapkan kebijakan lockdown jika terjadi lonjakan kasus Covid-19, tetapi ada masalah berbeda juta, mulai dari krisis sektor properti hingga kekeringan.
Dari dalam negeri, pelaku pasar masih menanti pengumuman harga bahan bakar minyak (BBM) subsidi Pertalite dan Solar.
Isu kenaikan keduanya semakin menguat setelah pemerintah menggelontorkan bantuan sosial senilai Rp 24 triliun. Memang pemerintah tidak secara gamblang menyebut bansos tersebut sebagai bantalan dari dana pengalihan subsidi BBM.
(trp)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Pasca libur Lebaran, IHSG Rontok 4,42% ke Bawah 7.000