Pantas Saja Rupiah Sulit Menguat, Ternyata Ini Penyebabnya!
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah melawan dolar Amerika Serikat (AS) sempat menembus ke bawah Rp 14.800/US$ di awal perdagangan Jumat (26/8/2022). Namun, memasuki tengah hari penguatannya terpangkas hingga tersisa 0,03% saja di Rp 14.815/US$.
Salah satu penyebab sulitnya rupiah menguat yakni sentimen investor asing yang masih belum bagus, bahkan masih getol mengambil posisi jual.
Hal tersebut terlihat dari survei 2 mingguan Reuters.
Survei tersebut menggunakan skala -3 sampai 3, angka negatif berarti pelaku pasar mengambil posisi beli (long) mata uang Asia dan jual (short) dolar AS. Semakin mendekati -3 artinya posisi long yang diambil semakin besar.
Sementara angka positif berarti short mata uang Asia dan long dolar AS, dan semakin mendekati angka 3, semakin besar posisi short mata uang Asia.
Survei tersebut dilakukan terhadap 9 mata uang utama Asia selain yen Jepang. Hasilnya, sejak Mei lalu, semua mata uang tersebut mengalami aksi jual (short), terlihat dari angka positif dari survei.
Hasil survei terbaru yang dirilis hari ini Kamis (25/8/2022) menunjukkan angka untuk rupiah 1,03, lebih buruk dari dua pekan sebelumnya lalu 0,83. Hal ini menjadi indikasi sentimen terhadap rupiah masih belum bagus. Hasil survei ini konsisten dengan pergerakan rupiah, ketika positif maka akan cenderung melemah, begitu juga sebaliknya.
Won Korea Selatan menjadi mata uang yang posisi short-nya paling besar. Padahal, bank sentral Korea (BoK) sangat agresif menaikkan suku bunga.
Artinya, meski suku bunga dinaikkan, tidak serta merta membuat sentimen terhadap mata uang membaik.
BoK) kembali menaikkan suku bunga acuannya pada pengumuman kebijakan moneter Kamis (25/8/2022). Secara frekuensi, di antara bank sentral utama dunia, BoK menjadi bank yang paling agresif menaikkan suku bunga. Sejak semester II-2021, BoK sudah 7 kali menaikkan suku bunga.
Dalam pengumuman kebijakan moneter hari ini, BoK mengerek suku bunga acuannya sebesar 25 basis poin menjadi 2,5%. Kenaikan ini menyusul bulan sebelumnya yang lebih besar, 50 basis poin. Dalam 7 kali, total BoK sudah menaikkan suku bunga sebesar 200 basis poin.
Inflasi yang tinggi menjadi alasan BoK sangat agresif dalam menaikkan suku bunga. Inflasi berdasarkan consumer price index (CPI) bulan Juli tercatat tumbuh 6,3% year-on-year (yoy) menjadi yang tertinggi sejak 1998.
Sama dengan negara lainnya, kenaikan inflasi tersebut dipicu oleh tingginya harga energi serta pangan.
Selain itu, nilai tukar won yang merosot melawan dolar Amerika Serikat (AS) juga memperburuk inflasi. Sepanjang tahun ini, won tercatat merosot lebih dari 12% dan berada di level terlemah dalam 24 tahun terakhir.
Meski demikian, BoK mengatakan sudah ada tanda-tanda inflasi mencapai puncaknya. Rata-rata inflasi tahun ini diperkirakan sebesar 5,2%, lebih tinggi dari proyeksi sebelumnya 4,5%. Untuk tahun depan, inflasi diperkirakan sebesar 3,7%, juga lebih tinggi dari proyeksi sebelumnya 2,9%.
Selain itu, BoK juga menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi di tahun ini menjadi 2,6%, dibandingkan proyeksi yang diberikan Mei lalu sebesar 2,7%.
Maklum saja, inflasi yang tinggi tentunya menggerus daya beli masyarakat, kemudian suku bunga tinggi akan melambatkan ekspansi dunia usaha. Alhasil, pertumbuhan ekonomi akan tergerus.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)