Masih Ingat dengan Hape Esia? Begini Kabarnya Sekarang...
Jakarta, CNBC Indonesia - Emiten yang sempat memproduksi telepon genggam merek Esia, Bakrie Telecom (BTEL), kembali mencatatkan rapor merah dalam laporan keuangan terbaru untuk semester pertama 2022.
Senada dengan sejumlah emiten lain di Grup Bakrie, BTEL yang sempat merasakan masa jayanya kini banyak yang mengalami tantangan mulai dari operasional bisnis hingga likuiditas terbatas yang membuat perusahaan mengalami defisiensi modal.
Awal Juni lalu, BTEL bersama mayoritas emiten Grup Bakrie lainnya namanya tercantum dalam pengumuman Bursa Efek Indonesia (BEI) atas emiten yang mendapatkan notasi khusus.
BEI saat ini 'mentato' BTEL dengan tiga notasi khusus yakni ekuitas negatif, belum melaksanakan RUPS dan masih berada dalam pantauan khusus pihak bursa.
Pasca dicecar bursa Juni lalu, BTEL langsung melaporkan kinerja keuangan tahunan 2021 serta kinerja dua kuartal pertama tahun ini dalam kurun waktu singkat dan berdekatan.
Salah satu hal yang paling menarik dari laporan keuangan terbaru perusahaan adalah defisiensi modal yang turun setengahnya menjadi Rp 5,73 triliun pada akhir tahun 2021, dibandingkan dengan Rp 11,38 triliun pada akhir September 2021 atau tiga bulan sebelumnya.
Usut punya usut ternyata pengurangan signifikan ini terjadi karena Rp 5,58 triliun utang jangka panjang yang sebelumnya direstrukturisasi lewat perjanjian PKPU telah jatuh tempo atau berakhir.
"Apabila Kelompok Usaha tidak mampu melaksanakan pembayaran porsi utang yang diselesaikan melalui PKPU sejumlah tersebut, maka di tahun 2026 utang pokok sejumlah Rp 9,89 triliun akan dikonversi menjadi kepemilikan kreditur di saham Perusahaan," tulis manajemen dalam laporan keuangan setahun penuh 2021.
Terakhir kali ada perusahaan yang melakukan haknya atas Obligasi Wajib Konversi adalah PT Huawei Tech Investment pada tanggal 1 Maret 2017 dengan mengkonversi piutang Rp 1,24 triliun menjadi saham Perusahaan sebanyak 6,19 juta saham.
Kinerja Laba-Rugi
Operasi perusahaan pun berlangsung bak zombie, dengan pendapatan bersih hanya Rp 21,03 miliar, naik dari Rp 10,59 miliar. Meski meningkat tidak terdapat pergerakan fundamental utama atas bisnis perusahaan, melainkan hanya segmen tertentu yang mengalami kenaikan pendapatan dan segmen lain turun.
BTEL mencatatkan kerugian bersih sebesar Rp 29,70 miliar dari semula rugi Rp 72,72 miliar pada paruh pertama tahun lalu.
Secara tahunan perusahaan tidak pernah merasakan untung sejak tahun 2011, kecuali tahun 2019 yang secara tiba-tiba perusahaan mengalami untung Rp 7 miliar.
Perusahaan mencatatkan pendapatan tertinggi pada tahun 2010, lalu kemudian turun perlahan hingga angkanya sudah tidak signifikan lagi sejak tahun 2015. Tahun tersebut adalah awal mula layanan operator Esia dihentikan secara bertahap, hingga kemudian layanannya dihentikan secara total.
Penurunan kinerja ini salah satunya disebabkan oleh berbagai hal mulai dari permasalahan utang hingga turunnya penjualan HP Esia yang kini tinggal nama.
HP Esia sendiri sempat populer di dekade 2000-an hingga awal 2010-an. Namun penetrasi tinggi jaringan 4G membuat teknologi seluler Code Division Multiple Access (CDMA) yang digunakan Esia menjadi kurang menarik.
Produk serupa yang mengalami nasib sama adalah HP Flexi. Meski demikian ada juga yang dapat bertahan, yakni Smartfren.
Selanjutnya, secara operasional saja perusahaan terus merugi sejak tahun 2015, dengan EBITDA selalu tercatat negatif mulai tahun tersebut.
Kas dan setara kas hanya tercatat sebesar Rp 701 juta, dengan total aset hanya sebesar Rp 45,39 miliar. Saat ini tercatat BTEL masih memiliki 220 karyawan.
Saham BTEL sendiri sudah lebih dari 5 tahun tidur dan tanpa ada transformasi signifikan tampaknya tinggal menunggu waktu untuk didepak dari bursa dan menyelesaikan seluruh kewajiban dari aset yang tersisa.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(fsd/vap)