AS & Sekutu Salah Perhitungan! Rusia Cuan Jumbo Dari Perang
Jakarta, CNBC Indonesia - Perang Rusia dengan Ukraina sudah berlangsung selama 6 bulan dan belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir. Ukraina yang dibelakangnya Amerika Serikat (AS) dan sekutu mampu menahan gempuran pasukan Rusia.
Di sisi lain, guna melemahkan dan menekan Rusia, AS dan sekutunya memberikan berbagai macam sanksi. Namun, sanksi tinggallah sanksi, hingga 6 bulan Rusia masih kuat untuk mendanai perang, bahkan malah untung besar.
Sebaliknya, Amerika Serikat dan Eropa justru yang mendapat masalah inflasi yang sangat tinggi, kini memberikan ancaman resesi hingga stagflasi.
"Langkah-langkah ini akan menurunkan instrumen utama kekuatan negara Rusia dan menimbulkan kerugian ekonomi akut dan langsung di Rusia dan meminta pertanggung jawaban kleptokrasi Rusia yang mendanai dan mendukung perang Putin," kata sekretaris pers Gedung Putih Jen Psaki, saat Amerika Serikat melarang investasi ke Rusia, dan mengenakan saksi bagi pejabat Kremlin dan keluarganya pada awal April lalu.
Sanksi paling parah yang diberikan Barat adalah embargo sektor energi, serta dikeluarkannya perbankan Rusia dari SWIFT.
Bukannya merugi, Rusia justru untung besar dari perang yang berlarut-larut. Sebabnya, harga komoditas energi yang meroket gila-gilaan. Memang AS di bawah pimpinan Presiden Joe Biden dan Eropa melarang impor minyak mentah dari Rusia, tetapi Putin menemukan pasar baru.
International Energi Agency (IEA) melaporkan pada Januari lalu, sebelum terjadinya perang, dari total ekspor minyak mentah, sebanyak 54% di kirim ke Benua Biru. Pada bulan Juni, nilai tersebut berkurang sebanyak sepertiga.
India menjadi "penadah" minyak mentah Rusia. Pada bulan Januari, impor minyak mentah India dari Rusia hanya 30.000 barel per hari. Tetapi, dengan harga diskon yang diberikan Rusia, dengan harga minyak mentah lainnya yang sangat tinggi, India pun langsung memborongnya.
Harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) dan Brent sempat meroket hingga ke atas US$ 130/barel di tahun ini, sebelum ke kisaran US$ 90/barel dalam beberapa waktu terakhir.
Rusia dikabarkan memberikan diskon hingga US$ 35/barel ketimbang harga sebelum perang terjadi. Pada Juni lalu, India mengimpor minyak mentah Ural Rusia sebanyak 740.000 barel per hari.
Selain India, China juga bisa menggenjot impor komoditas energi dari Rusia yang sudah didiskon. Pada Juli saja, China menghabiskan US$ 7,2 miliar atau Rp 107, 2 triliun untuk mengimpor energi dari Rusia.
Dilansir dari Al-Arabiya, Rusia kini menggantikan Arab Saudi sebagai pemasok terbesar minyak mentah China dalam tiga bulan terakhir. Beijing mengimpor minyak mentah sebanyak 7,15 juta ton pada Juli, naik 7,6% (year-on-year/yoy).
China juga memanfaatkan pasokan berlebih Rusia setelah Eropa melarang impor batu bara. China sebanyak 7,42 juta ton pada Juli, naik 14,4% (yoy). Jumlah tersebut adalah yang tertinggi sepanjang sejarah.
Adapun, impor gas alam cair China dari Rusia mencapai 410.000 ton pada Juli, naik 20% dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.
Meski Rusia menjual komoditas energinya dengan harga diskon, tetapi tidak membuatnya merugi, malah cuan jumbo. Transaksi berjalan (current account) terus mencetak rekor tertinggi sepanjang masa.
Di kuartal II-2020, current account Rusia tercatat sebesar US$ 70,1 miliar, lebih tinggi dari rekor kuartal sebelumnya US$ 68,38 miliar.
Sementara itu Bank sentral Rusia (Central Bank of Russia/CBR) pada Selasa (9/8/2022) melaporkan pada periode Januari - Juli, current account mencatat surplus US$ 166 miliar atau sekitar Rp 2.473 triliun (kurs Rp 14.900/US$).
Estimasi tersebut lebih dari tiga kali lipat dari periode yang sama tahun 2021 senilai US$ 50 miliar, menurut CBR.
"Dinamika transaksi berjalan ditentukan oleh melebarnya surplus neraca barang dan jasa sebagai hasil dari kenaikan signifikan nilai ekspor barang sementara nilai impor mengalami penurunan," tulus CBR.
Dengan cuan tersebut, artinya hitung-hitungan AS dan sekutu untuk melumpuhkan ekonomi Rusia meleset.
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) RI, Sandiaga Salahuddin Uno, juga menyebut Rusia tetap mengalami keuntungan mencapai US$ 6 miliar per hari. Berdasarkan data tersebut, ia memprediksi perang ini berlangsung lama karena Rusia masih mendapat banyak untung.
"Kenapa perang Rusia dan Ukraina ini akan cukup lama? Karena ini sangat profitable," ujar Sandiaga melalui akun TikTok-nya, dikutip Senin (22/8/2022).
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Ekonomi Rusia Tak Rontok, Rubel Terbaik di Dunia
(pap/pap)