Bunga Acuan Naik, Kode Keras Harga BBM Juga Bakal Naik?

Maesaroh, CNBC Indonesia
23 August 2022 17:49
Pengumuman Hasil Rapat Dewan Gubernur Bulanan Bulan Agustus 2022
Foto: Pengumuman Hasil Rapat Dewan Gubernur Bulanan Bulan Agustus 2022. (Tangkapan Layar Youtube BI)

Jakarta, CNBC Indonesia - Untuk kali pertama sejak November 2018 atau 45 bulan, Bank Indonesia (BI) menaikkan suku bunga acuan. Kenaikan tersebut mematahkan ekspektasi pasar yang memperkirakan BI akan mempertahankan suku bunga acuan mereka.

Seperti diketahui, Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 22-23 Agustus 2022 memutuskan untuk menaikkan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 25 bps menjadi 3,75%.

Bank sentral Indonesia juga menaikkan suku bunga Deposit Facility sebesar 25 bps menjadi 3,0%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 25 bps menjadi 4,50%.



Jajak pendapat CNBC yang melibatkan 15 lembaga/institusi sebelumnya memperkirakan BI akan mempertahankan suku bunga acuan. Dari 15 lembaga, hanya dua yang memproyeksikan BI akan mengerek suku bunga acuan yakni Moody's Analytics dan Sucor Sekuritas.

Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan kenaikan suku bunga acuan merupakan bagian dari langkah pre-emptive dan forward looking untuk memitigasi risiko peningkatan inflasi inti dan ekspektasi inflasi akibat kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) non-subsidi dan inflasi volatile food.

"(Kenaikan untuk) Memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah agar sejalan dengan nilai fundamentalnya dengan masih tingginya ketidakpastian pasar keuangan global, di tengah pertumbuhan ekonomi domestik yang semakin kuat," tutur Perry, dalam konferensi pers, Selasa (23/8/2022).

Sebagai catatan, terakhir kali kubu MH Thamrin mengerek suku bunga acuan adalah pada November 2018 atau 44 bulan yang lalu. Saat itu, BI menaikkan suku bunga acuan sebesar 35 bps dari 5,75% menjadi 6,0% untuk mengantisipasi kebijakan ketat bank sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserve (The Fed).

Perry menambahkan tekanan inflasi diperkirakan meningkat ke depan karena tingginya harga komoditas pangan dan energi global. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan inflasi pada Juli menembus 4,94% (year on year/yoy).

Dia menambahkan meningkatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia akan ikut mengerek inflasi dari sisi permintaan. BI memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan berada di angka 5,5% (yoy) pada kuartal III-2022. Secara keseluruhan tahun, ekonomi domestik akan tumbuh sekitar 4,5-5,3%.

Kenaikan inflasi dari sisi penawaran dan permintaan diperkirakan bisa membawa inflasi Indonesia menembus 5-5,24% pada tahun ini. Sementara itu, inflasi inti diperkirakan mencapai 4,15%.

"Inflasi inti dan ekspektasi inflasi diprakirakan berisiko meningkat akibat kenaikan harga BBM non-subsidi dan inflasi volatile food,serta semakin menguatnya tekanan inflasi dari sisi permintaan," ujar Perry.

Perry juga menambahkan kenaikan suku bunga merupakan upaya untuk menarik kembali aliran modal asing ke pasar Indonesia. Menurutnya, kenaikan suku bunga acuan the Fed yang sangat agresif serta kenaikan suku bunga negara maju lain membuat investor meninggalkan pasar Indonesia.

Capital outflow tersebut membuat stabilitas rupiah sempat goyah.

Dia menegaskan BI akan tetap menjaga nilai tukar rupiah dengan melakukan triple intervention serta menambah kebijakan baru yakni menjual Surat Berharga Negara (SBN) tenor jangka pendek.

Secara historis, BI memang langsung melakukan pengetatan moneter dengan menaikkan suku bunga acuan sebelum atau setelah pemerintah menaikkan harga BBM subsidi. Sebagai catatan, pemerintah tengah menggodok sejumlah skenario untuk menekan konsumsi BBM subsidi termasuk Pertalite, salah satunya adalah dengan menaikkan harga. Sejauh ini, pemerintah baru menaikkan harga BBM non-subsidi termasuk Pertamax, Pertamax Turbo, Dexlite, dan Pertamina Dex.

Kenaikan harga BBM tidak hanya memicu lonjakan harga BBM tetapi juga merembet kepada second round effect mulai dari kenaikan tarif transportasi, ongkos produksi, hingga distribusi. Dampak second round effect inilah yang menjadi perhatian besar BI.


Pada kenaikan harga BBM 2014, misalnya, BI langsung menaikkan suku bunga acuan (BI Rate) sebesar 25 bps menjadi 7,75% pada 18 November 2014. Kenaikan suku bunga dilakukan hanya sehari setelah pemerintah menaikkan harga BBM. Padahal, pada 11 bulan sebelumnya yakni Januari-November awal, BI mempertahankan suku bunga acuan BI Rate sebesar 7,50%.

Pada 2005, BI menaikkan suku bunga acuan secara perlahan lahan dari 8,5% pada awal Juli menjadi 10% pada September. Pada September-Desember 2005, BI langsung mengerek suku bunga sebesar 275 bps  menjadi 12,75% pada akhir 2005.

Kenaikan dilakukan untuk menjangkar ekspektasi kenaikan inflasi setelah harga BBM disesuaikan sebanyak dua kali yakni pada Maret dan Oktober 2005.

Pada 2008, BI juga menaikkan suku bunga acuan sebesar 125 bps selama tahun 2008 sehingga menjadi 9,25% pada bulan November untuk menekan laju inflasi akibat kenaikan harga BBM sbsidi pada Mei 2008.

Pada 2013, BI juga menaikkan suku bunga sebesar 175 bps menjadi 7,50% pada periode Juni hingga Desember sebagai bagian upaya menekan inflasi setelah harga BBM subsidi dinaikkan pada Juni 2013.


Ekonom Sucor Sekuritas Ahmad Mikail Samuel berharap langkah BI menaikkan suku bunga pada bulan ini belum terlambat. Pasalnya, bank sentral sejumlah negara sudah jauh melakukannya pada tahun ini atau bahkan pada akhir 2021.

"Inflasi sudah sangat tinggi sebenarnya. Makanya asing masih net sell di bonds. Real yield-nya tidak menarik. Kalau seperti ini, BI akan sangat agresif kalau hitungan inflasi mereka meleset," tutur Mikail kepada CNBC Indonesia.

Ekonom Bank Danamin Irman Faiz memperkirakan inflasi bisa terbang di kisaran 7,3% jika harga volatile items seperti makanan tidak kunjung turun. Sebaliknya, kenaikan harga Pertalite akan segera membuat inflasi semakin terbang.

"Kami memperkirakan setiap kenaikan Pertalite sebesar Rp 2.500 per liter akan menambah inflasi sebesar 2,4 percentage point (pcp)," tuturnya.

Irman memperkirakan BI masih memiliki banyak ruang untuk menaikkan suku bunga acuan hingga 100 bps untuk tahun ini. "Ada risiko jika BI akan menaikkan suku bunga acuan lebih tinggi dibandingkan perkiraan karena inflasi inti akan meningkat sangat pesat," imbuhnya.

 

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular