PHK Massal Diperkirakan Berlanjut, Dolar Australia Terpuruk

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
Selasa, 23/08/2022 14:50 WIB
Foto: Ilustrasi dolar Australia (CNBC Indonesa/ Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar dolar Australia masih kesulitan menguat melawan rupiah pada perdagangan Selasa (23/8/2022). Pasalnya, pasar tenaga kerja Australia diperkirakan akan melemah, dan pemutusan hubungan kerja (PHK) massal masih akan berlanjut.

Melansir data Refinitiv, pada pukul 13:34 WIB, dolar Australia diperdagangkan di kisaran Rp 10.225/US$, melemah 0,7% di pasar spot, melansir data Refinitiv. Pagi tadi mata uang Negeri Kanguru ini sebenarnya sempat menguat ke Rp 10.280/US$, melanjutkan penguatan 0,38% kemarin.

Penguatan awal pekan kemarin terjadi akibat koreksi teknikal setelah pada pekan lalu jeblok hingga 2,4%.


Pada Jumat (19/8/2022) lalu, Biro Statistik Australia melaporkan sepanjang bulan Juli terjadi PHK sebanyak 40.900 orang. Ini merupakan kali pertama terjadi sejak Oktober 2021.

"Ini pertama kalinya jumlah orang yang berkerja mengalami penurunan sejak Oktober 2021, setelah terjadi pelonggaran lockdown akibat Covid-19 varian Delta pada akhir 2021 lalu," kata Bjorn Jarvis, kepala Biro Statistik Australia, sebagaimana dilansir ABC News.

Sementara itu tinggkat pengangguran turun menjadi 3,4% dari sebelumnya 3,5%. Level tersebut merupakan yang terendah dalam 48 tahun terakhir. Namun, penurunan tersebut terjadi akibat berkurangnya partisipasi kerja.

Ekonom senior di AMP Capital, Diana Mousiana, mengatakan rilis data tersebut menjadi indikasi awal jika pasar pasar tenaga kerja sudah mencapai puncaknya.

"Saya rasa kita berada di titik balik perekonomian, di mana data menunjukkan sentimen konsmen, tingkat keyakinan bisnis, leading indikator, sudah mulai melambat," kata Mousiana.

"Beberapa leading indikator pertumbuhan tenaga kerja juga melambat, seperti niat untuk merekrut karyawan, hingga pembukaan lapangan kerja," tambahnya.

Hal senada diungkapkan Leith van Onselen, kepala ekonom di MB Fund, yang menyatakan tingkat pengangguran akan melesat di 2023. Ia menyoroti salah satu pemicu rendahnya tingkat pengangguran adalah berkurangnya pekerja migran secara drastis akibat pandemi penyakit virus corona (Covid-19).

Onselen dalam tulisannnya di media Macro Business, mengutip pernyataan Bill Mitchell, kepala Economics and Director of the Centre of Full Employment and Equity (CofFEE) di University of Newcastle, yang memberikan estimasi tingkat pengangguran di Australia akan sebesar 6,1% jika pekerja migran jumlahnya sudah kembali ke level sebelum pandemi.

Kemudian, kenaikan suku bunga yang agresif juga akan berdampak pada penurunan konsumsi masyarakat, yang pada akhirnya berdampak ke perekonomian.

Inflasi yang tinggi memaksa bank sentral Australia (Reserve Bank of Australia/RBA) mengerek suku bunga 4 bulan beruntun.

Di awal bulan ini RBA menaikkan suku bunga sebesar 50 basis poin menjadi 1,85%, yang merupakan level tertinggi dalam 6 tahun terakhir. Kenaikan suku bunga dalam 4 bulan beruntun menjadi yang paling agresif sejak awal 1990.

Kenaikan tersebut sesuai ekspektasi, tetapi sebelumnya sempat beredar spekulasi akan ada kenaikan 75 basis poin akibat tingginya inflasi.

Dalam rilis notula rapat kebijakan moneter hari ini, anggota dewan RBA melihat suku bunga masih akan terus dinaikkan karena inflasi masih jauh di atas target. 

TIM RISET CNBC INDONESIA 


(pap/pap)
Saksikan video di bawah ini:

Video: IHSG Menguat, Pasar Modal RI Masih Jadi Pilihan Investor