Dampak Inflasi Australia, PHK Massal Hingga Kurs Melemah

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
22 August 2022 14:05
Ilustrasi dolar Australia (CNBC Indonesa/ Muhammad Sabki)
Foto: Ilustrasi dolar Australia (CNBC Indonesa/ Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Inflasi dan suku bunga tinggi mulai menunjukkan masalah bagi perekonomian Australia. Pada bulan Juli lalu dilaporkan terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) massal. Alhasil, nilai tukar dolar Australia jeblok.

Pada perdagangan Jumat, dolar Australia merosot 0,63% melawan rupiah ke Rp 10.194/AU$ yang merupakan level terendah dalam satu bulan terakhir. Dalam sepekan tercatat dolar Australia jeblok hingga 2,38%.

Sementara pada perdagangan hari ini menguat 0,66% ke Rp 10.262/AU$ akibat tekanan yang dialami rupiah oleh isu kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) Pertalite.

Pada Jumat (19/8/2022) lalu, Biro Statistik Australia melaporkan sepanjang bulan Juli terjadi PHK sebanyak 40.900 orang. Ini merupakan kali pertama terjadi sejak Oktober 2021.

"Ini pertama kalinya jumlah orang yang bekerja mengalami penurunan sejak Oktober 2021, setelah terjadi pelonggaran lockdown akibat Covid-19 varian Delta pada akhir 2021 lalu," kata Bjorn Jarvis, kepala Biro Statistik Australia, sebagaimana dilansir ABC News.

Sementara itu tingkat pengangguran turun menjadi 3,4% dari sebelumnya 3,5%. Level tersebut merupakan yang terendah dalam 48 tahun terakhir. Namun, penurunan tersebut terjadi akibat berkurangnya partisipasi kerja.

Ekonom senior di AMP Capital, Diana Mousiana, mengatakan rilis data tersebut menjadi indikasi awal jika pasar pasar tenaga kerja sudah mencapai puncaknya.

"Saya rasa kita berada di titik balik perekonomian, di mana data menunjukkan sentimen konsmen, tingkat keyakinan bisnis, leading indikator, sudah mulai melambat," kata Mousiana.

"Beberapa leading indikator pertumbuhan tenaga kerja juga melambat, seperti niat untuk merekrut karyawan, hingga pembukaan lapangan kerja," tambahnya.

Inflasi yang tinggi memaksa bank sentral Australia (Reserve Bank of Australia/RBA) mengerek suku bunga 4 bulan beruntun.

Di awal bulan ini RBA menaikkan suku bunga sebesar 50 basis poin menjadi 1,85%, yang merupakan level tertinggi dalam 6 tahun terakhir. Kenaikan suku bunga dalam 4 bulan beruntun menjadi yang paling agresif sejak awal 1990.

Kenaikan tersebut sesuai ekspektasi, tetapi sebelumnya sempat beredar spekulasi akan ada kenaikan 75 basis poin akibat tingginya inflasi.

Dalam rilis notula rapat kebijakan moneter hari ini, anggota dewan RBA melihat suku bunga masih akan terus dinaikkan karena inflasi masih jauh di atas target

Inflasi berdasarkan consumer price index (CPI) Australia diperkirakan masih akan terus menanjak dan mencapai puncaknya sebesar 7,75% pada kuartal IV-2022, dari kuartal II-2022 sebesar 6,1% yang merupakan level tertinggi dalam 21 tahun terakhir. Inflasi diperkirakan baru akan mencapai target RBA 2% - 3% pada akhir 2024.

Dalam notula juga terungkap anggota dewan melihat untuk menurunkan inflasi, suku bunga di akhir tahun bisa berada di kisaran 3%.

Sementara itu pasar melihat suku bunga RBA di akhir tahun akan berada di kisaran 3,5%.

Semakin tinggi suku bunga, maka ekspansi dunia usaha akan semakin melambat akibat tingginya biaya kredit. Hal ini akan berdampak ke pasar tenaga kerja Australia.

TIM RISET CNBC INDONESIA 


(pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Dolar Australia Tak Mampu Tembus Rp 10.700/AU$, Ada Apa?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular