BI 'Beri Obat Kuat', Masa Depan Rupiah Cerah?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
19 August 2022 17:10
Ilustrasi dolar Amerika Serikat (AS)
Foto: Ilustrasi dolar Amerika Serikat (AS). (CNBC Indonesia/ Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Indonesia (BI) hari ini merilis data Neraca Perdagangan Indonesia (NPI) kuartal II-2022 yang menunjukkan surplus mencatat surplus sebesar US$ 2,4 miliar, setelah pada kuartal I-2022 membukukan defisit US$ 1,8 miliar.

NPI terdiri dari dua pos, salah satunya transaksi berjalan (current account) yang membukukan surplus US$ 3,9 miliar atau 1,1% dari produk domestik bruto (PDB). Surplus tersebut naik signifikan dari kuartal sebelumnya US$ 400 juta, atau 0,1% dari PDB.

Harga komoditas yang tinggi membuat neraca perdagangan Indonesia mampu mencatat surplus 27 bulan beruntun, yang membuat transaksi berjalan surplus 4 kuartal beruntun.

Surplus transaksi berjalan merupakan 'obat kuat' bagi rupiah. Ketika transaksi berjalan surplus, maka devisa akan mengalir ke dalam negeri, sehingga stabilitas rupiah bisa terjaga.

Terlihat dari pergerakan rupiah pada perdagangan Jumat (19/8/2022) yang sukses memangkas pelemahan hingga tersisa 0,03% saja di Rp 14.835/US$.

Meski sukses membukukan surplus 4 kuartal beruntun, tetapi faktor utamanya adalah tingginya harga komoditas, ke depannya transaksi berjalan belum tentu terus akan mencatat hasil positif.

BI memprediksi transaksi berjalan dalam kisaran surplus 0,3% sampai dengan defisit 0,5% dari PDB. Artinya, ada risiko transaksi berjalan akan defisit lagi.
Apalagi di tahun depan, harga komoditas juga diperkirakan tidak akan setinggi tahun ini.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan Indonesia tidak akan mendapat windfall alias 'durian runtuh' lagi tahun depan. Hal ini disampaikan dalam konferensi pers usai rapat kabinet, Senin (8/8/2022).

"Ini tidak akan berulang atau setinggi ini tahun depan," ungkap Sri Mulyani.

Indonesia memang diuntungkan dari commodity boom dua tahun belakangan karena kelangkaan pasokan akibat pandemi virus Corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) dan konflik antara Rusia dengan Ukraina. Penerimaan dari batu bara, minyak kelapa sawit (Crude Palm Oil/CPO), dan minyak mentah misalnya akan terpengaruh.

Tanda-tanda pelemahan harga komoditas dunia pun sudah terlihat mulai pada paruh kedua 2022. Padahal sempat mencapai rekor tertinggi pada semester pertama.

Perlambatan ekonomi dunia akibat inflasi yang tinggi pada akhirnya melemahkan konsumsi yang membuat harga komoditas turun.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Waspada Kenaikan Harga Pertalite

Isu kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) Pertalite masih membebani rupiah. Apalagi setelah Pidato Kenegaraan dan Nota Keuangan Presiden Joko Widodo (Jokowi) Selasa lalu, yang menunjukkan subsidi energi sebesar Rp 210 triliun.

"Ini akan jauh lebih rendah dibandingkan dengan Rp502,4 triliun tahun ini [dengan asumsi harga minyak rata-rata di US$90]. Karena subsidi energi turun 33% sementara asumsi harga minyak hanya ditetapkan 10% lebih rendah," papar Kepala Ekonom Bahana Sekuritas Satria Sambijantoro

Dari analisa Bahana, APBN 2023 dipastikan telah memperhitungkan setidaknya 20% kenaikan harga bahan bakar Pertalite menjadi Rp9.200-9.500 per liter.

Jika harga Pertalite dinaikkan, maka inflasi di Indonesia kemungkinan akan melesat. Saat inflasi semakin meninggi, maka nilai tukar mata uang semakin tergerus. Rupiah pun tertekan.

Pada tahun 2014 lalu misalnya, saat harga BBM dinaikkan pada bulan November rupiah terus mengalami pelemahan. Pemerintah saat itu menaikkan harga BBM sebesar 30% yang memicu kenaikan inflasi sebesar 8,36% (yoy).

Di akhir Oktober 2014, rupiah berada di kisaran Rp 12.080/US$ kemudian terus melemah hingga menyentuh Rp 12.930/US$ pada pertengahan Agustus. Pelemahannya tercatat lebih dari 7% dalam satu setengah bulan.

Hal yang sama juga terjadi setahun sebelumnya. Pemerintah menaikkan harga BBM di bulan Juni 2013 yang memicu kenaikan inflasi hingga 8,38% (yoy). Rupiah pun terus mengalami pelemahan hingga menembus ke atas Rp 10.000/US$. Pelemahan rupiah diperparah dengan isu tapering oleh bank sentral AS (The Fed).

Tidak hanya rupiah, inflasi yang tinggi juga bisa berdampak buruk ke perekonomian. Daya beli masyarakat bisa tergerus. Sedangkan, konsumsi rumah tangga merupakan kontributor terbesar pertumbuhan ekonomi, yakni sekitar 54%.

Kenaikan inflasi pada 2014 memicu pelambatan ekonomi. Di kuartal II-2014, produk domestik bruto (PDB) Indonesia tumbuh 4,94% year-on-year (YoY). Untuk pertama kalinya sejak kuartal III-2009, Indonesia mencatat pertumbuhan ekonomi di bawah 5%. Setelahnya, PDB Indonesia mayoritas di bawah 5%.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular