
Harga Minyak Dunia Ambruk 5% Lebih, Ini Penyebabnya!

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga minyak dunia ambles pada perdagangan malam ini. Harga si emas hitam belum bisa lepas dari tren negatif, ditambah dengan rilis data ekonomi China yang mengecewakan, meningkatkan potensi stagflasi global.
Pada Senin (15/8/2022) pukul 19:33 WIB, harga minyak jenis Brent berada di US$ 93,17/barel. Anjlok 5,07% dibandingkan posisi penutupan perdagangan akhir pekan lalu.
Sementara yang jenis light sweet atau West Texas Intermediate (WTI) harganya US$ 87,31/barel. Tergelincir 5,19%.
Seperti yang diwartakan AFP, ambruknya harga minyak mentah dunia terjadi setelah rilis data ekonomi China yang mengecewakan. Termasuk sektor properti China yang merosot.
Bahkan, bank sentral China memangkas suku bunga utama secara tak terduga hari ini. Karena sejumlah data ekonomi menunjukkan pelemahan.
Biro Statistik China (National Bureau of Statistic/NBS) melaporkan bahwa penjualan ritel tumbuh 2,7% pada Juli dari tahun lalu. Namun, angka ini jauh di bawah perkiraan pasar yang memproyeksikan pertumbuhan 5%.
Dari segi produksi, industri China mengalami kenaikan sebesar 3,8% secara tahunan. Tapi turun 3,9% jika dibandingkan bulan sebelumnya dan meleset dari ekspektasi pasar di 4,6%.
"Risiko stagflasi dalam ekonomi dunia meningkat dan pondasi untuk pemulihan ekonomi domestik belum solid," tutur NBS China dikutip AFP.
Stagflasi mengacu pada inflasi tinggi yang berlangsung lama dan dikombinasikan dengan meningkatnya pengangguran dan pertumbuhan ekonomi yang lemah. Kebijakan China menerapkan zero Covid telah menahan pemulihan ekonomi karena menghentikan aktivitas bisnis dan pemulihan pemulihan konsumsi.
Analis CMC Markets Michael Hewson juga menilai bahwa angka ritel per Juli 2022 mengkonfirmasi betapa rapuhnya kepercayaan konsumen di China. "Masalah di sektor properti juga tidak membantu, di mana banyak pembeli rumah menghentikan pembayaran hipotek sebagai protes atas keterlambatan penyelesaian rumah baru," tambahnya.
Setelah rilis data ekonomi China, mayoritas bursa di Asia Pasifik ditutup melemah pada perdagangan awal pekan ini. Indeks Hang Seng Hong Kong ditutup melemah 0,67% ke posisi 20.040,859, Shanghai Composite China turun tipis 0,02%, Straits Times Singapura terkoreksi 0,38%, dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berakhir terpangkas 0,5% menjadi 7.093,276.
Hanya indeks Nikkei Jepang dan ASX 200 Australia yang ditutup di zona hijau pada hari ini. Di mana Nikkei melesat 1,11% ke posisi 28.863,32 dan ASX 200 menguat 0,45% ke 7.064,3.
Bursa saham Jepang tentunya ditopang oleh rilis PDB Jepang pada kuartal II-2022 tumbuh 2,2% secara tahunan. Itu menunjukkan ekonomi Jepang pulih setelah pemerintah mencabut pembatasan Covid-19.
Di kawasan Eropa, pukul 20:00 WIB, indeks Stoxx 600 terkoreksi 0,15% ke 440,2. Hal serupa terjadi pada indeks DAX Jerman turun 0,39% ke 13.741,58 dan indeks CAC Prancis terkoreksi 0,18% ke posisi 6.542,79. Indeks FTSE juga tergelincir 0,47% ke 7.465,55.
Sementara itu, indeks dolar AS yang mengukur kinerja si greenback terhadap enam mata uang dunia lainnya, terpantau menguat 0,47% ke posisi 106,122 pada pukul 20:00 WIB. Penguatan dolar AS di pasar spot, tentunya ditopang oleh meningkatnya potensi stagflasi global yang tercermin dari perekonomian China.
Diketahui, China merupakan ekonomi terbesar kedua di dunia, setelah AS. Sehingga, perlambatan pada ekonominya dikhawatirkan akan berdampak pula terhadap negara lainnya.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aaf/sef)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Pasar Tunggu Pertemuan OPEC+, Harga Minyak Dunia Kembali Bergairah