
Ada Kabar Baik Soal Inflasi di AS Nih!

Jakarta, CNBC Indonesia - Prediksi konsumen terhadap inflasi menurun secara signifikan pada Juli di tengah penurunan tajam harga gas dan keyakinan bahwa harga makanan dan rumah akan turun pada beberapa tahun mendatang.
Survei Indeks Ekspektasi Konsumen yang dihimpun bank sentral Amerika Serikat (AS) (Federal Reserve/The Fed) New York menunjukkan bahwa konsumen memprediksikan inflasi akan berada di 6,2% di 2023 dan 3,2% untuk periode tiga tahun ke depan.
Meskipun angka tersebut masih terbilang tinggi, tapi prediksi angka inflasi melandai dari prediksinya di Juni, yang masing-masing berada di 6,8% dan 3,6%.
Konsumen memproyeksikan harga makanan hanya akan naik 6,7% selama 12 bulan ke depan, yang juga turun sebanyak 2,5 poin persentase dari prediksinya pada Juni. Penurunan tersebut menjadi yang terbesar sejak Juni 2013.
Demikian pula, dengan harga gas yang meskipun telah naik 60% ketimbang tahun lalu, di prediksikan hanya akan meningkat 1,5% di tahun depan. Turun 4,2 poin persentase dari prediksinya pada Juni.
Melansir data dari lembaga AAA, harga gas biasa telah turun sekitar 67 sen per galon selama sebulan terakhir, meskipun tetap 87 sen lebih tinggi dari tahun lalu. Penurunan tersebut seiring dengan terkoreksinya harga komoditas secara keseluruhan.
Selain itu, harga rumah juga diproyeksikan hanya akan naik 3,5%. Turun dari prediksinya pada Juni di 4,4% dan menjadi proyeksi kenaikan terendah sejak November 2020.
Proyeksi inflasi selama lima tahun ke depan juga turun 0,5 poin persentase menjadi 2,3%.
Sementara, pengeluaran rumah tangga AS secara keseluruhan pada tahun depan diperkirakan akan mendingin menjadi 6,9%. Prediksi tersebut juga turun dari proyeksi sebelumnya di Mei yang berada di 9% dan menjadi penurunan terbesar dalam sejarah survei.
Konsumen terlihat optimis, yang tercermin pada indeks S&P 500 yang melonjak 9% selama Juli 2022. Survei juga menunjukkan bahwa sebanyak 34,3% dari total konsumen memprediksikan indeks acuan akan menguat selama 12 bulan ke depan.
Survei tersebut terjadi setelah The Fed menaikkan suku bunga acuannya secara agresif untuk meredam angka inflasi yang menyentuh level tertinggi selama 40 tahun. Di sepanjang tahun ini, The Fed telah menaikkan suku bunga acuannya sebanyak empat kali dan membawa suku bunga acuan di kisaran 2,25%-2,5%.
Jika mengacu pada alat ukur FedWatch, analis memprediksikan adanya kenaikan sebanyak 75 basis poin (bps) pada pertemuan di September dan menjadi kenaikan dengan besaran yang sama selama tiga kali beruntun.
Namun, hasil survei Fed New York tersebut mungkin memberikan alasan bagi The Fed untuk menahan kebijakan moneternya, jika tidak di September maka di akhir tahun, jika data inflasi turun.
The Fed menargetkan angka inflasi di 2%, sehingga prediksi inflasi masih dinilai jauh di atas target The Fed.
Pekan lalu, Gubernur Fed Michelle Bowman mengatakan bahwa dia tidak melihat inflasi akan turun dalam waktu dekat dan melihat kebutuhan untuk terus menaikkan suku bunga acuan lebih tinggi. Senada, Presiden Fed San Francisco Mary Daly mengatakan bahwa kenaikan masih jauh dari kata selesai.
Pernyataan dari kedua pejabat The Fed tersebut terjadi setelah Departemen Tenaga Kerja AS melaporkan sebanyak 528.000 pekerjaan baru di Juli 2022 dan rata-rata upah per jam naik 5,2%.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aaf)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Bukan Q1-2024, Ini Waktu Yang Pas Untuk The Fed Pangkas Suku Bunga