Warning! Cadev RI Anjlok, Terparah Sejak Pandemi Covid-19

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
05 August 2022 13:25
Dollar
Foto: Freepik

Jakarta, CNBC Indonesia - Cadangan devisa Indonesia anjlok pada Juli lalu, salah satu penyebab utamanya nilai tukar rupiah yang merosot melawan dolar Amerika Serikat (AS) hingga menembus ke atas Rp 15.000/US$.

Bank Indonesia (BI) pada Jumat (5/8/2022) melaporkan cadangan devisa Indonesia pada akhir Juli 2022 sebesar US$ 132,2 miliar. Berkurang US$ 4,2 miliar dibandingkan bulan sebelumnya. Cadangan devisa Indonesia kini berada di posisi terendah sejak Juni 2020. 

Anjloknya cadangan devisa tersebut menjadi yang terbesar sejak Maret 2020 atau awal pandemi penyakit virus corona (Covid-19). Saat itu, nilai tukar rupiah yang merosot hingga menembus Rp 16.600/US$ membuat BI melakukan intervensi yang masif, cadangan devisa pun anjlok hingga US$ 9,4 miliar.

Hal yang sama sepertinya terjadi pada bulan lalu, meski pelemahan rupiah tidak separah di awal pandemi. Juli lalu, rupiah sempat menyentuh Rp 15.035/US$ yang merupakan level terlemah dalam lebih dari 2 tahun terakhir. BI pun kembali melakukan intervensi.

"Penurunan posisi cadangan devisa pada Juli 2022 antara lain dipengaruhi oleh pembayaran utang luar negeri pemerintah dan kebutuhan untuk stabilisasi nilai tukar rupiah sejalan dengan masih tingginya ketidakpastian pasar keuangan global," ungkap keterangan tertulis BI, Jumat (5/8/2022).

Seperti diketahui, BI menerapkan kebijakan triple intervention guna menstabilkan nilai tukar rupiah. Intervensi dilakukan di pasar spot, domestik non-deliverable forward (DNDF) dan di pasar Surat Berharga Negara (SBN).

Tekanan besar bagi rupiah sebenarnya datang dari eksternal, yakni bank sentral AS (The Fed) yang sangat agresif dalam menaikkan suku bunga.

The Fed mulai menaikkan suku bunga pada Maret lalu, dan terus melakukannya di setiap rapat kebijakan moneter.

Pada Juni lalu, The Fed menaikkan suku bunga acuannya (Federal Funds Rate/FFR) sebesar 75 basis poin, menjadi kenaikan terbesar sejak 1994. Rupiah saat itu memang mengalami pelemahan, tetapi tidak terlalu besar.

Tekanan hebat bagi rupiah baru muncul di bulan Juli saat The Fed dispekulasikan akan mengerek suku bunga sebesar 100 basis poin akibat inflasi yang masih belum menunjukkan tanda-tanda mencapai puncaknya.

Rupiah pun terpuruk, dan cukup lama bergerak di dekat Rp 15.000/US$. Intervensi dari BI semakin terlihat jika berkaca pada pergerakan rupiah di pasar non-deliverable forward yang berada cukup jauh di atas level psikologis tersebut, tetapi di pasar spot masih di bawahnya.

Beruntung, tekanan bagi rupiah mereda setelah The Fed tidak menaikkan suku bunga 100 basis poin, tetapi 75 basis poin menjadi 2,25% - 2,5% pada Kamis (28/7/2022) dini hari waktu Indonesia.

Rupiah pun sukses, menguat dan menjauhi Rp 15.000/US$. Meski demikian, ke depannya tekanan bagi rupiah bisa semakin meningkat, sebab The Fed masih akan terus menaikkan suku bunga. Kebutuhan cadangan devisa untuk intervensi juga masih akan tinggi, sebab BI masih enggan menaikkan suku bunga.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> BI Tahan Suku Bunga, Ekonomi RI Jadi Moncer

Besarnya cadangan devisa yang terkuras juga tidak lepas dari kebijakan BI yang hingga saat ini masih enggan menaikkan suku bunga. Namun dampaknya, pertumbuhan ekonomi Indonesia jadi moncer.

Saat BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) terus di tahan di 3,5%, dan The Fed terus mengerek FFR, maka selisihnya suku bunga semakin menyempit. Kemudian imbal hasil (yield) obligasi AS dengan Indonesia juga menyempit, alhasil capital outflow masif terjadi dari dalam negeri, khususnya pasar obligasi yang pada akhirnya menekan rupiah.

Namun, BI tetap enggan menaikkan suku bunga, dan memilih kebijakan lain guna menstabilkan rupiah, seperti mengakselerasi kenaikan Giro Wajib Minimum (GWM), mendorong kenaikan suku bunga antar bank tenor di atas satu pekan, dan menjual SBN guna menyerap likuiditas. Selain itu, tentunya triple intervention yang membuat cadangan devisa tergerus.

Inflasi inti yang masih rendah menjadi alasan utama BI terus mempertahankan suku bunganya.

BI memastikan kebijakan suku bunga acuan atau BI 7 days reverse repo rate mempertimbangkan kondisi dalam negeri, bukan situasi Amerika Serikat.
Hal ini disampaikan oleh Gubernur BI Perry Warjiyo dalam konferensi pers, Senin (1/8/2022).

"Dasar utama kebijakan suku bunga didasarkan perkiraan inflasi inti ke depan dan keseimbangan dengan pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian tak otomatis suku bunga bank sentral negara lain naik, suku bunga BI juga naik," jelasnya.

Langkah BI menahan suku bunga berbuah manis. Pertumbuhan ekonomi Indonesia melesat.

Badan Pusat Statistik (BPS) pagi ini mengumumkan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II-2022 tumbuh 5,44% dibandingkan periode yang sama tahun lalu atau year-on-year (yoy). Sedangkan dibandingkan kuartal sebelumnya (quarter-to-quarter/qtq), ekonomi tumbuh 3,72%.

"Pertumbuhan ekonomi secara qtq 3,72% dan yoy sebesa 5,44%," ungkap Kepala BPS Margo Yuwono dalam konferensi pers, Jumat (5/8/2022).

Realisasi tersebut bahkan lebih tinggi dari polling Reuters sebesar 5,13% (yoy).

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular