PDB Melesat 5,44% & Minyak Jeblok, RI Makin Kebal Resesi!

Jakarta, CNBC Indonesia - Indonesia semakin jauh dari resesi yang banyak menghantui negara-negara Barat, termasuk Amerika Serikat. Rilis data Produk Domestik Bruto (PDB) kuartal II-2022 yang melesat lebih tinggi dari kuartal sebelumnya menunjukkan perekonomian Indonesia sejauh ini masih kuat.
Badan Pusat Statistik (BPS) pagi ini mengumumkan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II-2022 tumbuh 5,44% dibandingkan periode yang sama tahun lalu atau year-on-year (yoy). Sedangkan dibandingkan kuartal sebelumnya (quarter-to-quarter/qtq), ekonomi tumbuh 3,72%.
"Pertumbuhan ekonomi secara qtq 3,72% dan yoy sebesar 5,44%," ungkap Kepala BPS Margo Yuwono dalam konferensi pers, Jumat (5/8/2022).
Realisasi tersebut bahkan lebih tinggi dari polling Reuters sebesar 5,13% (yoy).
Alhasil, rupiah menjadi trengginas melawan dolar AS. Pada awal perdagangan hari ini melesat 0,47% ke Rp 14.860/US$.
Margo menyebut pertumbuhan ekonomi yang impresif itu ditopang oleh perkembangan harga komoditas. Peningkatan harga komoditas menyebabkan Indonesia menikmati surplus neraca perdagangan US$ 15,55 miliar pada kuartal II-2022.
"Indonesia mendapatkan windfall dan harga komoditas di pasar global," kata Margo.
Selain itu, Hari Raya Idul Fitri juga memicu peningkatan konsumsi masyarakat yang merupakan kontributor terbesar PDB. Di kuartal II lalu, pertumbuhan konsumsi tercatat sebesar 5,51% dengan distribusi ke PDB 51,47%.
Selanjutnya adalah pembentukan modal tetap bruto (PMTB) yang tumbuh 3,07% atau distribusi 27,31% dan ekspor tumbuh 19,74% atau distribusi 24,6%.
Secara umum suatu negara dikatakan mengalami resesi ketika PDB mengalami kontraksi dalam dua kuartal beruntun secara tahunan. Dengan PDB Indonesia yang masih tumbuh, bahkan lebih tinggi lagi, resesi tentunya semakin jauh dari Tanah Air.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Harga Minyak Mentah Jeblok, Resesi Makin Jauh!
Selain PDB yang masih tumbuh harga minyak mentah yang terus menurun tentunya membuat resesi semakin jauh. Harga minyak mentah yang tinggi merupakan salah satu faktor utama yang memicu risiko resesi, terutama di negara-negara Barat.
Harga minyak mentah jenis West Texas Intermediate (WTI) saat ini berada di kisaran US$ 88/barel, merosot lebih dari 32% dibandingkan rekor tertinggi dalam 14 tahun terakhir US$ 130/barel yang dicapai awal Maret lalu.
Begitu juga dengan minyak jenis Brent yang juga jeblok lebih dari 32% dari rekor tertinggi 14 tahun US$ 139/barel. Saat ini, Brent berada di kisaran US$ 94/barel.
Ketika harga minyak mentah tinggi, maka harga energi akan meningkat yang memicu terjadinya inflasi. Belum lagi dengan harga gas alam dan batu bara yang ikut meroket. Inflasi energi pun menjadi sangat tinggi, terutama di negara-negara Barat yang tidak memberikan subsidi.
Alhasil, dengan inflasi yang tinggi, daya beli masyarakat tergerus, dan bisa berdampak pada pelambatan ekonomi, hingga akhirnya resesi.
Amerika Serikat sudah mengalaminnya. Pada pekan lalu PDB Amerika Serikat kuartal II-2022 dilaporkan mengalami kontraksi. Di kuartal I-2022 juga terjadi hal yang sama, artinya Amerika Serikat mengalami resesi, meski hal tersebut masih menjadi perdebatan akibat pasar tenaga kerja AS yang kuat.
Kontraksi tersebut terjadi akibat inflasi yang mencapai rekor tertinggi dalam 40 tahun terakhir.
Kini dengan harga minyak mentah yang merosot, tekanan inflasi energi tentunya menjadi berkurang.
Indonesia juga akan diuntungkan. Seperti diketahui, tingginya harga minyak mentah membuat pemerintah harus menambah subsidi energi agar tidak menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Pertalite.
Hal tersebut dilakukan agar inflasi tidak meroket di dalam negeri, sehingga daya beli masyarakat bisa terjaga.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati harus merogoh kocek lebih dalam pada tahun ini demi menahan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) jenis pertalite, LPG tabung 3 kg hingga tarif listrik.
Tak tanggung-tanggung, dana yang dibutuhkan adalah Rp 520 triliun. Termasuk di dalamnya pembayaran kompensasi kepada PT Pertamina persero dan PT PLN persero yang telah menahan kenaikan harga dalam dua tahun terakhir.
"Untuk tahun ini, kami meminta persetujuan DPR untuk tambah anggaran subsidi dan kompensasi nilainya diperkirakan Rp 520 triliun," ungkap Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati saat Rapat Paripurna DPR beberapa waktu lalu.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada Januari - Mei, impor migas Indonesia melonjak lebih dari 68% menjadi US$ 19,5 miliar.
Dengan penurunan harga minyak mentah, tentunya beban subsidi pemerintah juga bisa berkurang.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Kencangkan Ikat Pinggang, Bos BI: Ekonomi Tak Pasti Sampai Tahun Depan
