
Erick Sebut Pertamina Beda dengan Petronas, Ini Risetnya

Jakarta, CNBC Indonesia - Beberapa waktu lalu publik dihebohkan oleh perbandingan antara perusahaan migas nasional (National Oil Company/NOC) Indonesia dan Malaysia. Perbandingan tersebut adalah terkait fakta harga BBM Pertamina yang lebih mahal, namun laba bersih Petronas malah jauh mengungguli
Hal ini ikut membuat Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir angkat bicara dan menyebut laba rugi kedua perusahaan tidak bisa dibandingkan.
Dirinya juga meluruskan persepsi yang berkembang di masyarakat bahwa Pertamina merugi. Hal tersebut tidaklah benar, hanya saja perusahaan memang kadang mengalami kendala arus kas negatif yang disebut Erick karena subsidi yang belum diganti oleh pemerintah.
Lalu apakah saran Erick untuk jangan membandingkan Pertamina dengan Petronas bijak dan harus diamini? Untuk mengetahuinya tentu mau tidak mau perlu untuk melakukan perbandingan antara kedua perusahaan tersebut.
Untuk menjawab mengapa laba bersih Petronas jauh lebih mengungguli Pertamina meskipun harga BBM di Malaysia dijual lebih murah, perlu dilihat beberapa faktor utama termasuk produksi, beban operasi hingga subsidi.
Pertama terkait produksi, Petronas menang telak dengan produksi rata-rata harian mencapai 2,27 juta barel minyak ekuivalen (boe) pada tahun 2021. Sedangkan Pertamina memproduksi migas sebesar 897 ribu barel minyak ekuivalen per hari. Bahkan secara nasional, total lifting migas Indonesia masih 28% lebih rendah dari yang dicatatkan oleh Petronas atau sebesar 1,64 juta barel minyak ekuivalen per hari.
Konsumsi domestik yang lebih besar, menyebabkan Pertamina harus mengimpor minyak mentah. Sebaliknya, Malaysia dengan konsumsi yang lebih kecil memungkinkan Petronas untuk tetap menjadi net eksportir migas.
Tahun lalu pendapatan ekspor Petronas mencapai MYR 93,7 miliar atau setara dengan US$ 21,02 miliar. Ekspor tersebut ditujukan ke sejumlah negara, termasuk Indonesia.
Pada tahun yang sama Pertamina diketahui mengeluarkan US$ 6,56 miliar untuk impor produk, yang mana hal ini ikut meningkatkan harga pokok penjualan (HPP/COGS) Pertamina.
Tingginya produksi migas Petronas ikut mendorong kenaikan pendapatan, sedangkan biaya impor minyak oleh Pertamina ikut memperkecil margin laba karena HPP naik. Tahun lalu pendapatan Petronas mencapai MYR 247,96 (US$ 55,62 miliar), sedangkan Pertamina mencatatkan pendapatan yang sedikit lebih tinggi yakni US$ 57,51 miliar.
Dengan produksi lebih dari 2 kali lipatnya Pertamina, pendapatan Petronas tergerus banyak karena penjualan BBM domestik yang ditekan signifikan. Harga segala jenis BBM, termasuk bensin dan diesel, secara signifikan jauh lebih murah dari produk serupa yang dijual Pertamina di Indonesia. Sebagai perbandingan, BBM RON 52 di Malaysia saat ini dijual 45% lebih rendah dari Pertamax (RON 92) di RI, sedangkan diesel dijual 60% lebih rendah dari Dexlite Pertamina.
Meskipun dijual di harga yang jauh lebih rendah, hal ini tidak akan membuat perusahaan rugi, karena biaya produksi yang jauh lebih kecil menjadikannya tetap menguntungkan. Bahkan meskipun dijual dengan margin setipis mungkin, Petronas masih dapat memperoleh keuntungan dari penjualan ekspor.
Pendapatan ekspor tersebut yang akhirnya memberikan perbedaan signifikan pada angka bottom line kedua perusahaan migas nasional tersebut.
Selanjutnya, dengan pendapatan yang relatif sama, beban pokok penjualan dan beban langsung lainnya Pertamina tercatat jauh lebih tinggi, salah satunya tentu akibat beban biaya ekspor.
Beban pokok Pertamina tahun lalu nilainya mencapai 86% dari total pendapatan, sedangkan Petronas lebih efisien atau hanya 64% - karena Petronas merupakan eksportir minyak.
Dikurangi dengan beban-beban lainnya, Pertamina mencatatkan laba bersih US$ 2,05 miliar, sedangkan Petronas sebesar MYR 48,60 miliar (US$ 10,9 miliar).
Kondisinya tentu akan berbeda apabila suatu saat Malaysia bukan lagi net-eksportir migas, yang mana Petronas tentu terpaksa harus menjual BBM dengan harga yang lebih tinggi supaya memperoleh keuntungan. Melansir The Star, tahun lalu beban subsidi bahan bakar dari pemerintah Malaysia adalah sebesar MYR 11 miliar (US$ 2,47 miliar) atau setara dengan US$ 76 per kapita per tahun. Sementara untuk tahun ini diperkirakan akan membengkak hingga MYR 30 miliar (US$ 6,73 miliar).
Sementara itu, sepanjang tahun 2021, Pertamina memperoleh penggantian biaya subsidi dari pemerintah senilai US$ 5,12 miliar atau sekitar US$ 19 per kapita per tahun.
Pendapatan Pertamina dari subsidi ini lebih besar dari pada catatan laba bersih, hal ini pada akhirnya membebankan arus kas perusahaan apabila uang dari pemerintah menunggak atau terlambat masuk.
Dengan harga jual saat ini, tanpa bantuan subsidi pemerintah, Pertamina tentu masih merugi. Agar dapat memperoleh laba secara mandiri tanpa subsidi serta memperlancar arus kas, Pertamina tentu harus meningkatkan harga penjualan BBM yang saat ini saja dinilai masyarakat luas sudah naik mencekik.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(fsd/fsd)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Wow! Migas Blok Andaman Tarik Investasi Repsol Juga Petronas
