Ekonomi RI Disebut Tak Terdampak Kenaikan Suku Bunga AS
Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Sentral Amerika Serikat The Fed memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuannya sebesar 75 basis poin menjadi 2,25% hingga 2,5%. Ini menjadi pengetatan paling agresif dalam lebih dari satu generasi untuk menekan lonjakan inflasi.
Chief Economist BRI Anton Hendranata mengatakan kenaikan suku bunga The FED tentunya dapat berdampak bagi pasar finansial dan valas Indonesia. Di mana ini menyebabkan investor banyak menarik aset finansialnya dari negara berkembang menuju AS karena return yang ditawarkan menjadi lebih besar dan risiko investasinya relatif kecil dibanding negara berkembang.
"Kenaikan suku bunga The FED saat ini tentunya dapat semakin menekan pasar obligasi dan saham nasional. Selain itu, terjadinya capital outflow pada pasar finansial dapat mendorong depresiasi nilai rupiah karena permintaan terhadap dolar AS yang meningkat dari penjualan aset finansial rupiah," kata Anton dikutip dari keterangan resmi, Jumat (29/7/2022).
Meski begitu, dia menyebut bahwa kenaikan suku bunga The Fed tidak berdampak pada perekonomian nasional. Mengingat fundamental ekonomi saat ini cukup kuat untuk menahan gejolak eksternal, baik pada sektor riil-perbankan, sektor finansial-valas, maupun sektor eksternal-perdagangan.
"Sektor finansial-valas Indonesia relatif lebih robust saat ini dalam menahan gejolak eksternal, terlihat dari cadangan devisa yang less sensitive terhadap capital outflow di pasar finansial dan perdagangan," ujar Anton.
Diketahui per Juni cadangan devisa tercatat sebesar US$ 136,4 miliar atau naik sebesar US$ 135,6 miliar dari Mei 2022. Angka tersebut setara dengan pembiayaan 6,6 bulan impor atau 6,4 bulan impor ditambah pembayaran utang luar negeri pemerintah dan jauh di atas standar kecukupan internasional sebesar 3 bulan.
Di sisi lain, Bank Indonesia (BI) masih menjaga BI7DRR di level 3,50%pa pada RDG Juli 2022 sejalan dengan pemulihan ekonomi nasional. Menurut Anton, BI memandang kondisi nilai rupiah saat ini masih relatif stabil, baik nilai internal (inflasi) maupun eksternal (nilai tukar terhadap US$).
Dia menyebut, tingkat inflasi CPI Indonesia secara umum memang meningkat cukup signifikan menjadi 4,35%yoy pada Juni 2022. Tetapi, nilai inflasi inti nasional masih cukup terjaga dan stabil di bawah 3%yoy, yaitu 2,63%yoy pada Juni 2022.
Sementara dari sisi nilai eksternal, meski nilai tukar rupiah sedang mengalami tren depresiasi terhadap dolar, nilainya masih relatif rendah dibandingkan dengan depresiasi mata uang negara emerging markets lainnya. Per 22 Juli 2022, rupiah terdepresiasi tipis sebesar 5,09% atau lebih tinggi dibandingkan rata-rata depresiasi nilai tukar EM lainnya sebesar 8%.
"Dengan berbagai pertimbangan tersebut, kami pikir cukup masuk akal jika BI masih menahan suku bunga acuannya di RDG Juli 2022," tegas Anton.
Namun, dia memperkirakan, ke depan BI mulai menaikkan suku bunganya pada RDG Agustus 2022. Hal ini karena level nilai Rupiah yang sudah berada di kisaran Rp 15.000 an dan tingkat inflasi inti diperkirakan dapat merangkak hingga 2,82%yoy pada bulan Juli 2022 sejalan dengan peningkatan aktivitas ekonomi dan demand masyarakat.
"Inflasi CPI juga diperkirakan dapat meningkat hingga 4,89%yoy, sejalan dengan masih terganggunya pasokan supply bahan pangan akibat cuaca yang tidak menentu, utamanya pada cabai dan bawang," pungkasnya.
(rah/rah)