Giliran Hang Seng-Shanghai Loyo, Bursa Asia Lainnya Sumringah

Chandra Dwi Pranata, CNBC Indonesia
27 July 2022 16:44
People walk past an electronic stock board showing Japan's Nikkei 225 index at a securities firm in Tokyo Wednesday, July 10, 2019. Asian shares were mostly higher Wednesday in cautious trading ahead of closely watched congressional testimony by the U.S. Federal Reserve chairman. (AP Photo/Eugene Hoshiko)
Foto: Bursa Asia (AP Photo/Eugene Hoshiko)

Jakarta, CNBC Indonesia - Mayoritas bursa Asia-Pasifik ditutup menguat pada perdagangan Rabu (27/7/2022), meski bursa saham di kawasan China terpantau terkoreksi pada hari ini.

Hanya indeks Hang Seng Hong Kong dan Shanghai Composite China yang ditutup di zona merah pada hari ini. Hang Seng ditutup ambles 1,13% ke posisi 20.670,039 dan Shanghai turun tipis 0,05% menjadi 3.275,76.

Saham properti dan teknologi menjadi pemberat Hang Seng pada hari ini, di mana saham Country Garden anjlok 15,05%, setelah perseroan mengatakan akan mengumpulkan 2,8 miliar dolar Hong Kong (US$ 360 juta) dengan menjual 870 juta saham baru. Indeks Hang Seng Mainland Properties ambles 6,29%.

Sedangkan saham teknologi Alibaba ambrol 3,26%, setelah perseroan mengumumkan rencana untuk mencatatkan (listing) secara ganda sahamnya di bursa Hong Kong. Indeks Teknologi Hang Seng pun merosot 1,3%.

Sedangkan sisanya berakhir di zona hijau. Indeks Nikkei Jepang ditutup menguat 0,22% ke 27.715,75, ASX 200 Australia bertambah 0,23% ke 6.823,2, Straits Times Singapura melaju 0,33% ke 3.202,6, KOSPI Korea Selatan naik 0,11% ke 2.415,53, dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berakhir terapresiasi 0,39% menjadi 6.898,216.

Dari Australia, inflasi dari sisi konsumen (Indeks Harga Konsumen/IHK) kembali menanjak pada kuartal kedua tahun ini.

Biro Statistik Australia melaporkan IHK pada kuartal II-2022 kembali naik menjadi 6,1%, dari sebelumnya sebesar 5,1% pada kuartal I-2022.

Konsumen di Australia harus menerima lonjakan harga pangan hingga bahan bakar. Namun, angka inflasi ini tercatat lebih rendah dari konsensus yang dihimpun Trading Economics yang menunjukkan inflasi diperkirakan tumbuh 1,8% pada kuartal II-2022 dari kuartal I-2022.

Secara keseluruhan, inflasi tersebut dipicu oleh kenaikan harga makanan dan bahan bakar yang terus berlanjut. Harga makanan pada kuartal II-2022 mencatatkan kenaikan tertinggi sejak kuartal III-2011, mencapai 5,9% dibandingkan dengan 4,3% pada kuartal I-2022.

Kenaikan juga terjadi pada harga perumahan (9% vs 6,7%), alkohol dan tembakau (2,2 % vs 1,8%), perabot (6,3% vs 4,9%), rekreasi (4,5% vs 3%), dan asuransi & jasa keuangan (3,4% vs 2,7%).

Sebelumnya, Menteri Keuangan Australia, Jim Chalmers memperingatkan Negeri Kanguru sedang duduk dalam posisi keuangan yang genting dan "kurang tangguh" daripada sebelumnya.

Dengan tingginya inflasi tersebut akan semakin memicu ekspektasi kenaikan suku bunga pada pertemuan yang akan diagendakan Selasa depan.

"Tidak ada cara lain untuk menghadapi inflasi yang sangat panas di Australia saat ini dan RBA akan merespons dengan menaikkan suku bunga lagi pada pertemuan dewan bulan Agustus minggu depan," kata Gareth. Aird, kepala ekonomi di CBA dikutip dari The Guardian.

"Skenario utama kami untuk RBA menaikkan suku bunga sebesar 50 basis poin menjadi 1,85% pada rapat dewan Agustus tidak berubah," tambahnya.

Sebelumnya, bank sentral Australia (Reserve Bank of Australia/RBA) kembali menaikkan suku bunga acuan guna menekan inflasi yang terus melambung. Kenaikan tersebut menjadi yang ketiga kali secara berturut-turut dalam pertemuan bulanannya

RBA menaikkan suku bunga sebesar 50 bp menjadi 1,35%, menandai kenaikan 125 bp sejak Mei dan rangkaian pergerakan tercepat sejak 1994.

"Dewan akan mengambil langkah lebih lanjut dalam proses normalisasi kondisi moneter di Australia selama beberapa bulan ke depan," kata Gubernur RBA, Philip Lowe dalam sebuah pernyataan, dikutip Reuters.

Di lain sisi, investor di global sedang menanti pengumuman kebijakan moneter terbaru bank sentral Amerika Serikat (AS), Federal Reserve (The Fed) yang dijadwalkan pada Rabu siang waktu AS atau Kamis dini hari waktu Indonesia.

The Fed diprediksi akan menaikan kembali suku bunga acuannya sebesar 75 basis poin (bp) menjadi 2,5%, dari sebelumnya 1,75%.

Bahkan, lebih hawkish lagi sejumlah investor terbuka terhadap peluang bahwa The Fed akan menaikkan suku bunga acuan lebih agresif sebesar 100 bp pada pertemuan Juli ini.

Jika The Fed sungguh-sungguh menaikkan suku bunga acuannya pekan ini, peluang untuk terkoreksinya bursa saham AS terbuka lebar. Ditambah dengan potensi resesi karena perang Rusia-Ukraina belum usai, kian menambah tekanan terhadap aset berisiko.

Sementara itu, Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global menjadi 3,2% pada tahun ini, dari sebelumnya 3,6%. Kemudian pada 2023, ekonomi global diproyeksi akan tumbuh hanya 2,9%.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(chd/chd)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Perdagangan Perdana di 2024, Bursa Asia Dibuka Beragam

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular