Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak melemah pada perdagangan pagi hari ini. Sentimen eksternal jadi pengganjal bagi laju mata uang Nusantara.
Pada Rabu (27/7/2022), US$ 1 dibanderol Rp 14.930 kala pembukaan perdagangan pasar spot. Rupiah masih menguat 0,43% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya.
Namun hanya dalam hitungan menit, rupiah masuk jalur merah. Pada pukul 09:06 WIB, US$ 1 setara dengan Rp 15.005 di mana rupiah melemah tipis 0,07%.
Tidak hanya rupiah, berbagai mata uang utama Asia pun tidak berdaya di hadapan dolar AS. Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap mata uang Benua Kuning pada pukul 09:07 WIB:
Setidaknya ada dua sentimen yang membuat investor ragu untuk masuk ke pasar keuangan negara-negara berkembang di Asia. Satu, investor menantikan hasil rapat bank sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) yang diumumkan Kamis dini hari waktu Indonesia.
Dalam rapat tersebut, Ketua Jerome 'Jay' Powell akan menentukan suku bunga acuan. Mengutip CME FedWatch, pasar berekspektasi Federal Funds Rate akan naik 75 basis poin (bps). Kemungkinan ke arah sana mencapai 72,7%.
Namun bukan tidak mungkin Komite Pengambil Kebijakan The Fed (Federal Open Market Committee/FOMC) mengambil langkah 'nekat' dengan menaikkan suku bunga acuan 100 basis poin. Kansnya tidak bisa dianggap remeh, masih 27,3%.
 Sumber: CME FedWatch |
Sambil menunggu pengumuman dari Washington DC, sepertinya pelaku pasar memasang mode bermain aman. Lebih baik tidak mengambil risiko dengan 'bermain api' di aset-aset berisiko di negara berkembang, termasuk Indonesia. Ini membuat rupiah kekurangan 'darah' sehingga bergerak melemah.
Halaman Selanjutnya --> IMF Bawa Kabar Kurang Sedap
Sentimen kedua, Dana Moneter Internasional (IMF) merilis laporan World Economic Outlook terbaru edisi Juli 2022. Laporan ini diberi judul Gloomy and More Uncertain, suram dan kian tidak pasti...
Untuk 2022, lembaga yang berkantor pusat di Washington DC (Amerika Serikat/AS) itu memperkirakan ekonomi dunia tumbuh 3,2%. Melambat dibandingkan proyeksi sebelumnya yakni 3,6%.
"Penurunan konsumsi daya beli dan kebijakan moneter ketat membuat proyeksi pertumbuhan ekonomi AS berkurang 1,4 poin persentase. Di China, terus berlanjutnya lockdown dan krisis properti yang semakin dalam membuat proyeksi pertumbuhan ekonomi direvisi ke bawah sebanyak 1,1 poin persentase. Di Eropa, efek perang di Ukraina dan kebijakan moneter ketat membuat proyeksi pertumbuhan ekonomi berkurang signifikan," papar laporan IMF.
 Sumber: IMF |
Saat pertumbuhan ekonomi di berbagai negara melambat, tidak demikian dengan inflasi. Pada 2022, IMF memperkirakan laju inflasi di negara-negara maju bisa mencapai 6,6% dan di negara-negara berkembang diperkirakan 9,5%. Masing-masing bertambah 0,9 poin persentase dan 0,8 poin persentase dibandingkan 'ramalan' edisi April 2022.
Tidak hanya itu, tantangan ke depan juga masih sangat berat sehingga sangat mungkin menyebabkan risiko penurunan proyeksi lebih lanjut. Seretnya pasokan gas alam dari Rusia, inflasi yang kian sulit dikendalikan, ketatnya kondisi pasar keuangan, penyebaran Covid-19, eskalasi krisis properti di China, serta fragmentasi geopolitik membuat upaya pemulihan bakal terhambat.
"Ada skenario alternatif kalau risiko-risiko tersebut terjadi. Pertumbuhan ekonomi global bisa melambat menjadi 2,6% dan 2% pada 2022 dan 2023," lanjut laporan IMF.
Kabar ini lagi-lagi menjadi sentimen negatif bagi pasar keuangan di negara-negara berkembang. Perlambatan ekonomi akan membuat investor memilih mencari aset-aset yang dinilai aman (safe haven).
Saat aliran modal ke negara berkembang (termasuk Indonesia) seret, maka tidak heran mata uang akan melemah. Inilah yang sedang dialami oleh rupiah.
TIM RISET CNBC INDONESIA