Menyambut Babak Baru Moneter: Rezim Rupiah Lemah

Arif Gunawan, CNBC Indonesia
24 July 2022 19:56
Ilustrasi Dollar Rupiah
Foto: Muhammad Luthfi Rahman

Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Indonesia mengambil langkah yang terbilang mengejutkan pada pekan lalu, dengan menahan suku bunga acuan (BI 7-Day Reverse Repo Rate/BI 7-DRR) di angka 3,5%. Era rupiah lemah dimulai?

Semuanya berawal dari kebijakan moneter ekstra longgar yang dijalankan selama pandemi di negara maju, dan harus segera diakhiri jika tak ingin memicu gelembung (bubble) di sektor keuangan dan memicu krisis. Istilahnya tapering off.

Namun, tahun ini persoalan baru muncul karena rencana pengurangan likuiditas tersebut (yang berada di ranah demand side) dibarengi dengan operasi militer Rusia untuk membantu kelompok separatis di wilayah Donbass, Ukraina.

Negara Barat yang ogah ikut berperang berusaha membantu Ukraina dengan pasokan senjata ala kadarnya, dan menjatuhkan sanksi pada Rusia, serta embargo atas produk energi dan pangan Negara Tirai Besi tersebut. Buntutnya, inflasi merajalela.

Inflasi AS dan sekutunya melesat hingga menyentuh level tertinggi 40 hingga 60 tahun terakhir. Ketika demand side dari sisi likuiditas sedang diketatkan, tiba-tiba mereka memilih mengetatkan supply side dengan menolak membeli produk Rusia yang vital dalam perekonomian mereka.

Untuk mengatasi persoalan inflasi, bank sentral negara maju bertindak laiknya superhero Marvel dengan bertindak garang (hawkish). Tak sekadar mengetatkan suku bunga acuannya, mereka melakukannya dengan sangat agresif.

Di sepanjang tahun ini, bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) dua kali menaikkan suku bunga acuannya dengan total 75 basis poin (bp) hingga Juni. Pada 26-27 Juli nanti, The Fed dijadwalkan menggelar pertemuan yang berujung kenaikan suku bunga acuan 75-100 bp.

Dalam berbagai kesempatan, petinggi bank sentral terkuat dunia tersebut menyatakan pil pahit kenaikan suku bunga-yang memicu pengetatan likuiditas-diambil untuk meredam inflasi. Pada Juni AS, merekam inflasi sebesar 9,1% yang merupakan level tertinggi dalam 41 tahun.

Berbeda dari The Fed, Bank Indonesia (BI) justru memilih menjadi 'jinak merpati' dengan mempertahankan suku bunga acuannya di 3,5%. Alasannya lumayan kuat, bahwa angka inflasi Indonesia berada di level 4,35% atau masih lebih rendah dari negara-negara lain di dunia.

Selain itu, inflasi inti yang berada di 2,63%, dinilai masih berada dalam target kisaran BI di 2%-4%. Oleh karena itu, kenaikan suku bunga acuan dinilai belum diperlukan. Hal ini mematahkan proyeksi yang dibuat oleh separuh komunitas analis dan ekonom di Tanah Air.

Menurut polling CNBC Indonesia pekan lalu, 50% responden menyatakan bank sentral bakal menaikkan suku bunga acuan. Dalam update terbaru, beberapa analis memprediksikan BI akan mulai menaikkan suku bunga acuannya pada pertemuan Agustus dan September.

Dalam satu hal, BI benar bahwa persoalan inflasi dunia saat ini (yang terjadi di sisi supply side) adalah lonjakan harga akibat aksi embargo negara maju terhadap Rusia. Oleh karenanya, yang dibidik atau disasar semestinya adalah persoalan di suplai, dan bukannya di sisi demand side (likuiditas alias uang beredar) dengan kenaikan suku bunga.

Jika inflasi terjadi karena uang beredar yang berlebih, maka kenaikan suku bunga tentu sangatlah masuk akal diambil. Namun sebaliknya jika yang terjadi adalah persoalan di sisi suplai seperti gagal panen atau embargo seperti yang sekarang terjadi, maka kenaikan suku bunga hanya meredakan nyeri tapi tidak mengatasi persoalan inti.

Ibarat seseorang yang terjatuh dari sepeda motor dan mengalami luka parah di kaki, maka yang diperban dan diobati semestinya bukan di kepala, melainkan di kaki. Betul bahwa obat yang ditelan untuk meredakan rasa sakit bisa mengurangi rasa nyeri tapi ia tak membantu pemulihan.

Namun demikian, BI tentu harus memperhatikan imbas dari kebijakan yang diambil, karena perekonomian global telah terintegrasi sedemikian rupa sehingga semua saling berkelindan. Kenaikan suku bunga di AS dan negara maju memicu tekanan bagi mata uang negara berkembang yang suku bunganya rendah. Indonesia kini termasuk di sana.

Tidak heran, nilai tukar rupiah sekonyong-konyong bablas ke Rp 15.030 ketika Rapat Dewan Gubernur (RDG) dimulai pada Rabu, dan masih tertekan di level Rp 15.015/dolar AS setelah BI tidak lagi memilih "ahead of the curve" pada Kamis.

Mata Uang Garuda mulai menapaki level 15.000, level yang pernah disentuh tatkala krisis 1998 setelah The Fed menaikkan suku bunga acuannya secara agresif. Sepanjang tahun berjalan (year to date), rupiah telah terkoreksi 5,2% di mana 2,1% darinya disumbang kinerja Juni saja.

Posisi rupiah pada Jumat ini memang masih belum mematahkan rekor terlemah selama pandemi, yakni di level psikologis 16.000 per dolar AS yang terakhir disentuh pada 6 April 2020 (setelah meledak Covid-19 di Tanah Air).

Namun, koreksi tersebut berpeluang berlanjut jika BI tak bisa melakukan stabilisasi nilai tukar secara efektif dengan dua formula yang disiapkan, yakni intervensi pasar dan melakukan penjualan Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder (yang berdampak pada kenaikan yield di pasar).

Harapannya, ketika pasar SBN diguyur maka imbal hasil terdongkrak naik. Pada Jumat lalu, yield SBN kian meninggi setelah mayoritas SBN dilepas investor dan hanya obligasi pemerintah tenor 3, 15, dan 20 tahun yang masih ramai diburu.

Sebenarnya, tanpa aksi jual SBN oleh BI, investor asing berpeluang besar berjualan dan mudik ke negara maju karena kupon di sana lebih menarik. Jika ini terus terjadi, maka rupiah pun kian ditinggalkan dan hanya bertumpu pada devisa untuk mempertahankan nilai tukarnya.

Pasalnya, The Fed pun sedang melakukan hal yang sama: mengurangi balance sheet dengan melepas obligasi. Nilai obligasi terkait sektor perumahan saja mencapai US$ 2,7 triliun (Rp 40.400 triliun), yang dilepas sejak Juni lalu.

Yakin, BI mampu melawan The Fed dalam aksi "tinggi-tinggian yield" di pasar? Yakin cadangan devisa cukup untuk mengintervensi pasar agar rupiah tak ambruk? Jika tidak yakin, maka mari bersiap-siap menyambut new normal di ranah moneter, yakni era rupiah lemah.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular