Menyambut Babak Baru Moneter: Rezim Rupiah Lemah

Arif Gunawan, CNBC Indonesia
24 July 2022 19:56
The Fed
Foto: Edward Ricardo

Dalam satu hal, BI benar bahwa persoalan inflasi dunia saat ini (yang terjadi di sisi supply side) adalah lonjakan harga akibat aksi embargo negara maju terhadap Rusia. Oleh karenanya, yang dibidik atau disasar semestinya adalah persoalan di suplai, dan bukannya di sisi demand side (likuiditas alias uang beredar) dengan kenaikan suku bunga.

Jika inflasi terjadi karena uang beredar yang berlebih, maka kenaikan suku bunga tentu sangatlah masuk akal diambil. Namun sebaliknya jika yang terjadi adalah persoalan di sisi suplai seperti gagal panen atau embargo seperti yang sekarang terjadi, maka kenaikan suku bunga hanya meredakan nyeri tapi tidak mengatasi persoalan inti.

Ibarat seseorang yang terjatuh dari sepeda motor dan mengalami luka parah di kaki, maka yang diperban dan diobati semestinya bukan di kepala, melainkan di kaki. Betul bahwa obat yang ditelan untuk meredakan rasa sakit bisa mengurangi rasa nyeri tapi ia tak membantu pemulihan.

Namun demikian, BI tentu harus memperhatikan imbas dari kebijakan yang diambil, karena perekonomian global telah terintegrasi sedemikian rupa sehingga semua saling berkelindan. Kenaikan suku bunga di AS dan negara maju memicu tekanan bagi mata uang negara berkembang yang suku bunganya rendah. Indonesia kini termasuk di sana.

Tidak heran, nilai tukar rupiah sekonyong-konyong bablas ke Rp 15.030 ketika Rapat Dewan Gubernur (RDG) dimulai pada Rabu, dan masih tertekan di level Rp 15.015/dolar AS setelah BI tidak lagi memilih "ahead of the curve" pada Kamis.

Mata Uang Garuda mulai menapaki level 15.000, level yang pernah disentuh tatkala krisis 1998 setelah The Fed menaikkan suku bunga acuannya secara agresif. Sepanjang tahun berjalan (year to date), rupiah telah terkoreksi 5,2% di mana 2,1% darinya disumbang kinerja Juni saja.

Posisi rupiah pada Jumat ini memang masih belum mematahkan rekor terlemah selama pandemi, yakni di level psikologis 16.000 per dolar AS yang terakhir disentuh pada 6 April 2020 (setelah meledak Covid-19 di Tanah Air).

Namun, koreksi tersebut berpeluang berlanjut jika BI tak bisa melakukan stabilisasi nilai tukar secara efektif dengan dua formula yang disiapkan, yakni intervensi pasar dan melakukan penjualan Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder (yang berdampak pada kenaikan yield di pasar).

Harapannya, ketika pasar SBN diguyur maka imbal hasil terdongkrak naik. Pada Jumat lalu, yield SBN kian meninggi setelah mayoritas SBN dilepas investor dan hanya obligasi pemerintah tenor 3, 15, dan 20 tahun yang masih ramai diburu.

Sebenarnya, tanpa aksi jual SBN oleh BI, investor asing berpeluang besar berjualan dan mudik ke negara maju karena kupon di sana lebih menarik. Jika ini terus terjadi, maka rupiah pun kian ditinggalkan dan hanya bertumpu pada devisa untuk mempertahankan nilai tukarnya.

Pasalnya, The Fed pun sedang melakukan hal yang sama: mengurangi balance sheet dengan melepas obligasi. Nilai obligasi terkait sektor perumahan saja mencapai US$ 2,7 triliun (Rp 40.400 triliun), yang dilepas sejak Juni lalu.

Yakin, BI mampu melawan The Fed dalam aksi "tinggi-tinggian yield" di pasar? Yakin cadangan devisa cukup untuk mengintervensi pasar agar rupiah tak ambruk? Jika tidak yakin, maka mari bersiap-siap menyambut new normal di ranah moneter, yakni era rupiah lemah.

TIM RISET CNBC INDONESIA

(ags/ags)
[Gambas:Video CNBC]


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular