Menyambut Babak Baru Moneter: Rezim Rupiah Lemah
Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Indonesia mengambil langkah yang terbilang mengejutkan pada pekan lalu, dengan menahan suku bunga acuan (BI 7-Day Reverse Repo Rate/BI 7-DRR) di angka 3,5%. Era rupiah lemah dimulai?
Semuanya berawal dari kebijakan moneter ekstra longgar yang dijalankan selama pandemi di negara maju, dan harus segera diakhiri jika tak ingin memicu gelembung (bubble) di sektor keuangan dan memicu krisis. Istilahnya tapering off.
Namun, tahun ini persoalan baru muncul karena rencana pengurangan likuiditas tersebut (yang berada di ranah demand side) dibarengi dengan operasi militer Rusia untuk membantu kelompok separatis di wilayah Donbass, Ukraina.
Negara Barat yang ogah ikut berperang berusaha membantu Ukraina dengan pasokan senjata ala kadarnya, dan menjatuhkan sanksi pada Rusia, serta embargo atas produk energi dan pangan Negara Tirai Besi tersebut. Buntutnya, inflasi merajalela.
Inflasi AS dan sekutunya melesat hingga menyentuh level tertinggi 40 hingga 60 tahun terakhir. Ketika demand side dari sisi likuiditas sedang diketatkan, tiba-tiba mereka memilih mengetatkan supply side dengan menolak membeli produk Rusia yang vital dalam perekonomian mereka.
Untuk mengatasi persoalan inflasi, bank sentral negara maju bertindak laiknya superhero Marvel dengan bertindak garang (hawkish). Tak sekadar mengetatkan suku bunga acuannya, mereka melakukannya dengan sangat agresif.
Di sepanjang tahun ini, bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) dua kali menaikkan suku bunga acuannya dengan total 75 basis poin (bp) hingga Juni. Pada 26-27 Juli nanti, The Fed dijadwalkan menggelar pertemuan yang berujung kenaikan suku bunga acuan 75-100 bp.
Dalam berbagai kesempatan, petinggi bank sentral terkuat dunia tersebut menyatakan pil pahit kenaikan suku bunga-yang memicu pengetatan likuiditas-diambil untuk meredam inflasi. Pada Juni AS, merekam inflasi sebesar 9,1% yang merupakan level tertinggi dalam 41 tahun.
Berbeda dari The Fed, Bank Indonesia (BI) justru memilih menjadi 'jinak merpati' dengan mempertahankan suku bunga acuannya di 3,5%. Alasannya lumayan kuat, bahwa angka inflasi Indonesia berada di level 4,35% atau masih lebih rendah dari negara-negara lain di dunia.
Selain itu, inflasi inti yang berada di 2,63%, dinilai masih berada dalam target kisaran BI di 2%-4%. Oleh karena itu, kenaikan suku bunga acuan dinilai belum diperlukan. Hal ini mematahkan proyeksi yang dibuat oleh separuh komunitas analis dan ekonom di Tanah Air.
Menurut polling CNBC Indonesia pekan lalu, 50% responden menyatakan bank sentral bakal menaikkan suku bunga acuan. Dalam update terbaru, beberapa analis memprediksikan BI akan mulai menaikkan suku bunga acuannya pada pertemuan Agustus dan September.
(ags/ags)