Sederet Isu yang Membuat Pasar Keuangan Grogi
Jakarta, CNBC Indonesia - Isu resesi lagi-lagi membuat pasar finansial Indonesia tertekan. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) merosot 1,3% ke 6.651,905 dan mencatat penurunan 3 pekan beruntun.
Rupiah bahkan sudah 6 minggu tak pernah menguat, meski di pekan ini pelemahannya hanya 0,1% saja di Rp 14.990/US$.
Sementara dari pasar obligasi, mayoritas Surat Berharga Negara (SBN) mengalami pelemahan. Hanya SBN tenor 15 dan 25 tahun yang mengalami penguatan, terlihat dari penurunan imbal hasil (yield) meski tipis saja.
Pergerakan yield berbanding terbalik dengan harga obligasi, ketika yield turun artinya harga mengalami kenaikan.
Isu resesi, khususnya di Amerika Serikat (AS) semakin menguat di pekan ini setelah inflasinya kembali meroket.
Berdasarkan data dari Departemen Tenaga Kerja AS, inflasi berdasarkan consumer price index (CPI) meroket 9,1% year-on-year (yoy) pada Juni, jauh lebih tinggi dari bulan sebelumnya 8,6% dan ekspektasi Dow Jones 8,8%.
Bank sentral AS (The Fed) di bawah pimpinan Jerome Powell berencana menaikkan suku bunga 50 - 75 basis poin di bulan ini. Namun, pasar kini melihat bank sentral paling powerful di dunia ini akan menaikkan 100 basis poin menjadi 2,5% - 2,75%.
Semakin tinggi suku bunga dinaikkan maka resesi akan semakin cepat terjadi.
Di pekan ini, perhatian utama tertuju pada Bank Indonesia (BI) yang akan mengumumkan hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) pada Kamis (21/7/2022). Baik IHSG, rupiah dan SBN masih akan bergerak volatile.
Pasar akan melihat apakah BI akan masih akan mempertahankan suku bunganya di rekor terendah 3,5%. Jika masih dipertahankan, maka selisih suku bunga dengan The Fed akan semakin menyempit, ada risiko capital outflow yang terjadi di pasar obligasi akan semakin besar.
Sementara jika dinaikkan, maka akan meningkatkan daya tarik SBN, dan mendongkrak nilai tukar rupiah. Tetapi, risikonya laju pertumbuhan ekonomi akan melambat.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Inflasi Eropa Jadi Perhatian
(pap/pap)