
Diterjang Isu Resesi, IHSG Tak Bergairah Pekan Ini!

Jakarta, CNBC Indonesia - Kinerja Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada pekan ini masih menorehkan kinerja kurang baik. Kondisi ini dipicu oleh isu resesi yang selalu menyelimuti pasar keuangan global, termasuk Indonesia.
Sepanjang pekan ini, Indeks bursa saham acuan Tanah Air tersebut merosot 1,31% secara point-to-point. Pada perdagangan Jumat (8/7/2022). Pada perdagangan kemarin, IHSG ditutup longsor 0,57% di 6.651,9.
Pada perdagangan awal pekan ini saja IHSG terkoreksi 0,27% di 6.722,14. Indeks hanya berhasil menguat satu kali pada pekan ini, tepatnya Kamis lalu ketika IHSG berhasil rebound dan menguat 0,74% di 6.690,08.
IHSG diperdagangkan di kisaran 6.600-6.700. Hingga saat ini, IHSG belum mampu menyentuh kembali zona psikologisnya di level 7.000.
Selama sepekan, nilai transaksi IHSG mencapai Rp 39,3 triliun. Investor asing tercatat masih melakukan aksi jual bersih (net sell) hingga mencapai Rp 1,7 triliun di seluruh pasar pada pekan ini.
Volatilnya IHSG pada pekan ini disebabkan karena kondisi makroekonomi global yang masih belum menentu, sehingga investor tidak akan mempertahankannya dalam waktu yang lebih lama.
Sentimen pergerakan IHSG masih terkait ancaman resesi global turut menyelimuti pasar keuangan Tanah Air. Saat ini, perekonomian dunia sedang bergejolak akibat dari isu geopolitik global yang berlangsung. Inflasi yang tinggi membuat isu resesi kian nyata. Aset-aset berisiko pun rontok belakangan ini.
Indeks Harga Konsumen (IHK) AS per Juni melesat 9,1% secara tahunan (year on year/yoy) atau jauh melampaui ekspektasi pasar dalam polling Dow Jones yang sebesar 8,8%. Angka tersebut lebih tinggi ketimbang inflasi bulan sebelumnya di 8,6% dan menjadi rekor inflasi tertinggi dalam 41 tahun terakhir.
Inflasi inti, yang mengecualikan barang dengan harga volatil seperti makanan dan energi, juga melambung, yakni sebesar 5,9%, melampaui estimasi yang memperkirakan angka 5,7%. Inflasi inti dianggap mencerminkan daya beli masyarakat.
Rilis data IHK tersebut akan mendorong bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) menaikkan suku bunga acuannya sebanyak 75 basis poin (bp) di pertemuan selanjutnya. Padahal, bulan lalu, The Fed telah menaikkan suku bunga acuannya 75 bp (terbesar sejak 1994) ke 1,5%-1,75%.
"Tak ada jalan lain, kecuali The Fed harus lebih agresif dalam waktu dekat dan menghajar sisi permintaan. Itu yang akan memicu resesi sekarang," tutur Liz Ann Sonders, analis Charles Schwab seperti dikutipCNBC Internnational.
Untuk diketahui, sebelum rilis data inflasi semalam, mayoritas pelaku pasar masih memperkirakan the Fed bakal mengerek Fed Funds Rate/FFR (suku bunga acuan AS) sebesar 75 bps.
Namun setelah rilis data inflasi tersebut pelaku pasar memperkirakan ada peluang sebesar 51,1% Fed bakal lebih agresif dengan menaikkan FFR sebesar 100 bps, jika mengacu pada CME FedWatch.