Diterjang Isu Resesi, IHSG Tak Bergairah Pekan Ini!

Aulia Mutiara Hatia Putri, CNBC Indonesia
16 July 2022 08:30
Ilustrasi Bursa (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Foto: Ilustrasi Bursa (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Kinerja Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada pekan ini masih menorehkan kinerja kurang baik. Kondisi ini dipicu oleh isu resesi yang selalu menyelimuti pasar keuangan global, termasuk Indonesia.

Sepanjang pekan ini, Indeks bursa saham acuan Tanah Air tersebut merosot 1,31% secara point-to-point. Pada perdagangan Jumat (8/7/2022). Pada perdagangan kemarin, IHSG ditutup longsor 0,57% di 6.651,9.

Pada perdagangan awal pekan ini saja IHSG terkoreksi 0,27% di 6.722,14. Indeks hanya berhasil menguat satu kali pada pekan ini, tepatnya Kamis lalu ketika IHSG berhasil rebound dan menguat 0,74% di 6.690,08.

IHSG diperdagangkan di kisaran 6.600-6.700. Hingga saat ini, IHSG belum mampu menyentuh kembali zona psikologisnya di level 7.000.

Selama sepekan, nilai transaksi IHSG mencapai Rp 39,3 triliun. Investor asing tercatat masih melakukan aksi jual bersih (net sell) hingga mencapai Rp 1,7 triliun di seluruh pasar pada pekan ini.

Volatilnya IHSG pada pekan ini disebabkan karena kondisi makroekonomi global yang masih belum menentu, sehingga investor tidak akan mempertahankannya dalam waktu yang lebih lama.

Sentimen pergerakan IHSG masih terkait ancaman resesi global turut menyelimuti pasar keuangan Tanah Air. Saat ini, perekonomian dunia sedang bergejolak akibat dari isu geopolitik global yang berlangsung. Inflasi yang tinggi membuat isu resesi kian nyata. Aset-aset berisiko pun rontok belakangan ini.

Indeks Harga Konsumen (IHK) AS per Juni melesat 9,1% secara tahunan (year on year/yoy) atau jauh melampaui ekspektasi pasar dalam polling Dow Jones yang sebesar 8,8%. Angka tersebut lebih tinggi ketimbang inflasi bulan sebelumnya di 8,6% dan menjadi rekor inflasi tertinggi dalam 41 tahun terakhir.

Inflasi inti, yang mengecualikan barang dengan harga volatil seperti makanan dan energi, juga melambung, yakni sebesar 5,9%, melampaui estimasi yang memperkirakan angka 5,7%. Inflasi inti dianggap mencerminkan daya beli masyarakat.

Rilis data IHK tersebut akan mendorong bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) menaikkan suku bunga acuannya sebanyak 75 basis poin (bp) di pertemuan selanjutnya. Padahal, bulan lalu, The Fed telah menaikkan suku bunga acuannya 75 bp (terbesar sejak 1994) ke 1,5%-1,75%.

"Tak ada jalan lain, kecuali The Fed harus lebih agresif dalam waktu dekat dan menghajar sisi permintaan. Itu yang akan memicu resesi sekarang," tutur Liz Ann Sonders, analis Charles Schwab seperti dikutipCNBC Internnational.

Untuk diketahui, sebelum rilis data inflasi semalam, mayoritas pelaku pasar masih memperkirakan the Fed bakal mengerek Fed Funds Rate/FFR (suku bunga acuan AS) sebesar 75 bps.

Namun setelah rilis data inflasi tersebut pelaku pasar memperkirakan ada peluang sebesar 51,1% Fed bakal lebih agresif dengan menaikkan FFR sebesar 100 bps, jika mengacu pada CME FedWatch.

Selanjutnya, pekan ini ada sentimen positif dari dalam Negeri. Di tengah isu resesi yang menggebu, Indonesia kembali melanjutkan tren positif pada sisi ekspor dan impor. Neraca perdagangan Indonesia selama semester I-2022 berhasil mencapai US$ 24,89 miliar.

Capaian positif ini disebabkan oleh durian runtuh atau lonjakan harga komoditas internasional dalam beberapa tahun terakhir. Khususnya pada ekspor andalan Indonesia seperti batu bara, bauksit, nikel, tembaga hingga minyak kelapa sawit.

Surplus neraca dagang diharapkan dapat memberikan kontribusi positif terhadap pertumbuhan ekonomi nasional di tengah ancaman resesi. Khususnya pada kuartal II-2022.

Analis memberikan saran divestasi investasi melihat dunia menuju resesi. Menghadapi ancaman resesi, Anthony Watson, founder dan presiden Thrive Retirement Specialist di Michigan sebagaimana dikutip menyarankan melakukan divestasi investasi.

Menurutnya, dalam kondisi resesi, value stock atau saham-saham yang dinilai memiliki harga terlalu rendah ketimbang kinerja keuangannya, akan lebih menguntungkan ketimbang growth stock.

"Value stock cenderung unggul ketimbang growth stock ketika memasuki resesi," kata Watson sebagaimana dilansir CNBC International, dikutip Jumat (15/7/2022).

Investor juga cenderung mempertimbangkan aset investasi masuk ke obligasi, sebab selain lebih aman ketimbang saham, imbal hasil (yield) yang ditawarkan kini cukup tinggi.

Kenaikan suku bunga yang dilakukan bank sentral membuat yield obligasi cenderung akan menanjak. Hal ini tentunya memberikan keuntungan, apalagi obligasi merupakan aset yang lebih aman ketimbang saham.

Selain obligasi, emas yang secara tradisional menjadi aset lindung nilai terhadap inflasi juga bisa menjadi pilihan investasi. Awal Maret lalu emas sempat melesat ke US$ 2.069/troy ons dan nyaris memecahkan rekor tertinggi sepanjang masa.

Namun setelahnya justru melempem dan kini diperdagangkan di dekat US$ 1.800/troy ons. Seandainya dunia mengalami resesi, apalagi jika kebijakan bank sentral gagal menurunkan inflasi dengan cepat, maka emas punya potensi kembali melesat. 

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular