
Akhir Pekan Bursa Asia Loyo, Hang Seng-Shanghai Ambles

Jakarta, CNBC Indonesia - Bursa Asia-Pasifik ditutup bervariasi dengan mayoritas melemah pada perdagangan Jumat (15/7/2022) akhir pekan ini, di mana respon investor terkait data pertumbuhan ekonomi China pada kuartal kedua tahun 2022 cenderung beragam.
Indeks Nikkei Jepang ditutup menguat 0,54% ke posisi 26.788,47, Straits Times Singapura menguat 0,28% ke 3.099,15, dan KOSPI Korea Selatan terapresiasi 0,37% ke 2.330,98.
Sementara untuk indeks Hang Seng Hong Kong ditutup ambruk 2,19% ke 20.297,72, Shanghai Composite China ambles 1,64% ke 3.228,06, ASX 200 Australia melemah 0,68% ke 6.605,6, dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terkoreksi 0,57% ke posisi 6.651,905.
Dari China, ekonominya pada kuartal II-2022 hanya tumbuh sedikit. Pertumbuhan ekonomi dalam data Produk Domestik Bruto (PDB) hanya tumbuh sebesar 0,4% secara tahunan (year-on-year/yoy).
Pencapaian tersebut jauh di bawah pertumbuhan PDB pada kuartal I-2022 yang mencapai 4,8%. Catatan itu juga jauh di bawah konsensus pasar sebesar 1%.
Adapun, angka itu juga menjadi yang terendah sejak kontraksi sebesar 6,8% pada kuartal I-2020, akibat meledaknya kembali kasus virus Corona (Covid-19) yang memaksa pemerintah memberlakukan pembatasan wilayah (lockdown).
Pertumbuhan yang melambat ini terjadi setelah kota terbesar China, Shanghai, ditutup selama dua bulan karena memerangi kebangkitan Covid-19. Akibatnya rantai pasokan terganggu dan memaksa pabrik untuk menghentikan operasinya kembali.
Hal yang sama juga terjadi di ibu kota China, Beijing. Kebijakan nol-Covid dengan penguncian cepat dan karantina yang panjang untuk menekan penularan malah menghancurkan bisnis dan membuat konsumen gelisah.
"Di dalam negeri, dampak epidemi masih ada," kata NBS dalam sebuah pernyataan, mencatat permintaan yang menyusut dan pasokan yang terganggu, dilansir AFP.
"Risiko stagflasi dalam ekonomi dunia meningkat juga," lanjut pernyataan itu.
Dengan pertumbuhan ekonomi semester pertama sebesar 2,5%, Beijing diperkirakan akan kehilangan target pertumbuhan tahunan sekitar 5,5% untuk 2022, yang merupakan level terendah dalam tiga dekade.
Pelaku pasar juga masih cenderung wait and see, setelah dirilisnya inflasi di AS pada periode Juni 2022. Sentimen terkait inflasi yang mengganas masih menjadi salah satu faktor yang menggerakkan pasar keuangan global hari ini.
Ancaman inflasi yang membuat ekonomi bisa mengalami overheating kian nyata dan memicu penurunan harga aset-aset berisiko seperti saham.
Inflasi yang memanas juga berdampak pada pasar obligasi AS dan mengirim imbal hasil (yield) obligasi tenor 2 tahun naik 9 basis poin (bp) ke 3,138% pada perdagangan kemarin, sedangkan yield obligasi tenor 10 tahun jatuh 4 bps ke 2,919%.
Kurva terbalik tersebut biasanya memberikan sinyal akan terjadinya resesi. Data inflasi tersebut juga membuka peluang untuk The Fed menaikkan suku bunga acuan, di mana pasar memprediksikan adanya kenaikan sebesar 1% atau 100 bp.
"Kesimpulan untuk investor adalah kebijakan The Fed akan tetap bergantung pada data dan The Fed akan melanjutkan jalur pengetatan yang agresif sampai tekanan inflasi memuncak dengan pasti," tulis analis BCA Research di dalam risetnya dikutip CNBC International.
Dia juga menambahkan bahwa tekanan harga yang terus menerus akan menyebabkan kenaikan suku bunga acuan yang besar pada pertemuan selanjutnya di 26-27 Juli.
Berdasarkan data FedWatch, pelaku pasar kini memperkirakan bank sentral AS bakal makin hawkish dengan menaikkan suku bunga acuan sebesar 100 bp dengan probabilitas 47,6%.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(chd/chd)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Perdagangan Perdana di 2024, Bursa Asia Dibuka Beragam
