Wow! Kurs Dolar Australia Nyaris ke Bawah Rp 10.000

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
15 July 2022 11:00
Ilustrasi dolar Australia (CNBC Indonesa/ Muhammad Sabki)
Foto: Ilustrasi dolar Australia (CNBC Indonesa/ Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar dolar Australia nyaris menembus ke bawah Rp 10.000/AU$ Kamis kemarin, sebelum kembali menjauhinya. Isu resesi yang akan melanda Australia membuat nilai tukar mata uangnya merosot melawan rupiah meski tiket pengangguran sudah turun ke level terendah nyaris 50 tahun.

Melansir data Refinitiv, kemarin dolar Australia sempat menyentuh Rp 10.013/AU$, sebelum mengakhiri perdagangan di atas Rp 10.100/AU$. Sementara pada perdagangan Jumat (15/7/2022), dolar Australia kembali turun tipis 0,11% ke Rp 10.102/AU$.

Biro Statistik Australia Kamis pagi melaporkan tingkat pengangguran turun menjadi 3,5% pada Juni, dari bulan sebelumnya 3,9%. Tingkat pengangguran tersebut menjadi yang terendah sejak Agustus 1974.

Selain itu, sepanjang bulan lalu perekonomian Australia tercatat mampu menyerap 88.000 tenaga kerja.

Meski pasar tenaga kerja sangat kuat, tetapi dolar Australia belum mampu melaju kencang. Sebab, Negeri Kanguru diperkirakan akan mengalami resesi akibat tingginya inflasi, serta kebijakan bank sentralnya (Reserve Bank of Australia/RBA) yang agresif menaikkan suku bunga.

"Banyak bank sentral saat ini mandatnya pada dasarnya berubah menjadi tunggal, yakni menurunkan inflasi. Kredibilitas kebijakan moneter merupakan aset yang sangat berharga yang tidak boleh hilang, sehingga bank sentral akan agresif menaikkan suku bunga," kata Rob Subbraman, kepala ekonom Nomura dalam acara Street Signs Asia CNBC International, Selasa (5/7/2022).

Subbraman memproyeksikan dalam 12 bulan ke depan zona euro, Inggris, Jepang, Australia, Kanada dan Korea Selatan juga akan mengalami resesi.

"Kenaikan suku bunga yang agresif artinya kita melihat kebijakan front loading. Dalam beberapa bulan kami telah melihat risiko resesi, dan sekarang beberapa negara maju benar-benar jatuh ke jurang resesi," tambah Subbraman.

Diana Mousina, ekonom senior di AMP Australia juga menyebut kenaikan suku bunga akan berdampak pada harga perumahan, belanja konsumen dan investasi perumahan yang bisa menekan tingkat keyakinan konsumen.

Analis dari Nomura juga memasukkan Australia sebagai negara yang berisiko mengalami resesi dalam 12 bulan ke depan. Resesi akan semakin pasar jika kenaikan suku bunga sampai memicu runtuhnya pasar properti.

Sementara itu dari dalam negeri, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan neraca perdagangan Indonesia yang kembali surplus pada Juni 2022. Artinya surplus sudah mencapai 26 bulan beruntun.

Nilai ekspor US$ 26,09 miliar, naik 40,68% dibandingkan tahun lalu atau year on year (yoy) dan 21,30% secara month on month (mom).

Sementara impor mencapai US$ 21 miliar. Sehingga surplus kembali terjadi dengan besaran kali ini US$ 5 miliar.

Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia dari 12 lembaga memperkirakan surplus neraca perdagangan pada Juni akan mencapai US$ 3,42 miliar. Surplus tersebut melonjak dibandingkan yang tercatat pada Mei yakni US$ 2,89 miliar.

Surplus bisa membuat transaksi berjalan kembali surplus di kuartal II-2022, yang memberikan sentimen positif ke rupiah.

TIM RISET CNBC INDONESIA 


(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Ambrol! Dolar Australia di Level Termurah 1 Bulan

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular