
Jelang Rilis Data PDB China Kuartal 2, Bursa Asia Dibuka Lesu

Jakarta, CNBC Indonesia - Mayoritas bursa Asia-Pasifik dibuka melemah pada perdagangan Jumat (15/7/2022), jelang rilis data pertumbuhan ekonomi China pada periode kuartal kedua tahun 2022.
Indeks Hang Seng Hong Kong dibuka merosot 0,86%, Shanghai Composite China melemah 0,66%, ASX 200 Australia ambles 1,4%, dan KOSPI Korea Selatan terkoreksi 0,86%.
Sedangkan untuk indeks Nikkei Jepang dibuka menguat 0,35% dan Straits Times Singapura terapresiasi 0,47%.
Data pertumbuhan ekonomi China pada periode kuartal II-2022 akan dirilis pada hari ini pukul 10:00 waktu setempat atau pukul 09:00 WIB. Produk Domestik Bruto (PDB) China diperkirakan tumbuh 1% pada kuartal II-2022, berdasarkan survei dari Reuters.
Perkiraan tersebut akan menjadi yang terlemah sejak penurunan tajam hingga 6,9% pada kuartal pertama tahun 2020, ketika wabah Covid-19 di pusat kota Wuhan pertama kali terdeteksi pada akhir 2019, berubah menjadi epidemi besar dan akhirnya menjadi pandemi hingga kini.
Selain rilis data PDB, China juga akan merilis data produksi industri, penjualan ritel, dan tingkat pengangguran pada periode Juni 2022.
Bursa Asia-Pasifik yang cenderung melemah terjadi di tengah terkoreksinya mayoritas bursa saham Amerika Serikat (AS), Wall Street pada Kamis kemarin waktu setempat.
Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) ditutup melemah 0,46% ke posisi 30.630,17 dan S&P 500 terkoreksi 0,3% ke 3.790,38. Sedangkan indeks Nasdaq Composite masih naik tipis 0,03% menjadi 11.251,18.
Sentimen terkait inflasi yang mengganas masih menjadi faktor dominan yang menggerakkan pasar keuangan Negeri Paman Sam.
Ancaman inflasi yang membuat ekonomi bisa mengalami overheating kian nyata dan memicu penurunan harga aset-aset berisiko seperti saham.
Inflasi yang memanas juga berdampak pada pasar obligasi AS dan mengirim imbal hasil (yield) obligasi tenor 2 tahun naik 9 basis poin (bp) ke 3,138%, sedangkan yield obligasi tenor 10 tahun jatuh 4 bps ke 2,919%.
Kurva terbalik tersebut biasanya memberikan sinyal akan terjadinya resesi. Data inflasi juga membuka peluang untuk The Fed menaikkan suku bunga acuan, di mana pasar memprediksikan adanya kenaikan sebesar 1% atau 100 bp.
"Kesimpulan untuk investor adalah kebijakan The Fed akan tetap bergantung pada data dan The Fed akan melanjutkan jalur pengetatan yang agresif sampai tekanan inflasi memuncak dengan pasti," tulis analis BCA Research di dalam risetnya dikutip CNBC International.
Dia juga menambahkan bahwa tekanan harga yang terus menerus akan menyebabkan kenaikan suku bunga acuan yang besar pada pertemuan selanjutnya di 26-27 Juli.
Berdasarkan data FedWatch, pelaku pasar kini memperkirakan bank sentral AS bakal makin hawkish dengan menaikkan suku bunga acuan sebesar 100 bp dengan probabilitas 47,6%.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(chd/vap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Perdagangan Perdana di 2024, Bursa Asia Dibuka Beragam
