
Gara-gara Rusia, Eropa Bisa Mengalami Kiamat Gas!

Jakarrta, CNBC Indonesia - Eropa sedang ketar ketir aliran gas dari Rusia melalui pipa Nord Stream 1 benar-benar putus setelah agenda pemeliharaan pada 11-21 Juli. Seberapa buruk jika hal tersebut terjadi?
Ada begitu banyak variabel yang harus diperhitungkan seperti lamanya penutupan, tingkat pengurangan pasokan, dan seberapa jauh negara akan mengalokasikan energi. Sehingga perlu dicermati lebih lanjut untuk melihat apa yang sebenarnya akan terjadi nanti jika Eropa benar-benar kehilangan pasokan gas dari Rusia.
Wajar sebab Rusia adalah pemasok utama gas alam lewat pipa ke Eropa. Menurut catatan BP Statistical Review 2022, Rusia memenuhi 45,25% pasokan gas alam ke Eropa lewat pipa. Jumlahnya mencapai 167 miliar meter kubik (bcm) dari total impor gas alam Eropa lewat pipa 369,1 bcm.
Pipa Nord Stream 1 sendiri mengangkut 55 bcm gas per tahun dari Rusia ke Jerman di bawah Laut Baltik. Pipa Nord Stream I sendiri sempat mengalami pemotongan daya pada bulan lalu di mana Rusia memangkas gas hingga 40% dari total kapasitas pipa itu.
"Yang tidak diketahui adalah, bagaimana kejutan yang dimulai di Jerman, Polandia, dan negara-negara Eropa tengah lainnya akan bergema di seluruh Eropa dan dunia," kata Joachim Klement, kepala strategi, akuntansi, dan keberlanjutan di Liberum Capital.
"Tidak ada pengganti yang tersedia untuk gas Rusia," tambahnya.
Sementara itu dalam paparan analisis, para ekonom UBS Group AG berpandangan bahwa jika Rusia menghentikan total pengiriman gas ke Eropa akan mengurangi pendapatan perusahaan lebih dari 15%.
Selain itu, akan terjadi aksi jual di pasar yang akan melebihi 20% di Stoxx 600 dan Euro akan turun menjadi 90 sen. Lalu untuk aset aman akan mendorong imbal hasil obligasi Jerman menjadi 0%.
"Kami menekankan bahwa proyeksi ini harus dilihat sebagai perkiraan kasar dan tidak berarti skenario yang lebih buruk," tulis Arend Kapteyn, kepala ekonom di UBS.
"Kita dapat dengan mudah membayangkan gangguan ekonomi yang mengarah pada hasil pertumbuhan yang lebih negatif."
Pasar sudah memperkirakan kekacauan pasar. Euro berada pada level terendah dua dekade dan di ambang paritas dolar. Saham Jerman telah kehilangan 11% sejak Juni. Raksasa gas Jerman Uniper SE adalah korban terbesar, dengan saham anjlok 80% tahun ini dan saat ini sedang mencari bailout pemerintah.
Meskipun sudah jatuh, Goldman Sachs Group Inc memprediksi mata uang masih bisa jatuh 5% lagi karena kecemasan penutupan aliran gas.
"Eropa saat ini terjebak dalam lingkaran setan," kata Charles-Henry Monchau, kepala investasi di Banque Syz. Harga energi yang lebih tinggi merugikan ekonomi Eropa, mendorong euro lebih rendah. Pada gilirannya, euro yang lebih lemah membuat impor energi menjadi lebih mahal, katanya.
Kekhawatiran lainnya adalah bahwa bank sentral tidak akan dapat berbuat banyak untuk membantu perekonomian dengan inflasi yang sudah mencapai level tertinggi satu dekade, kata Prashant Agarwal, manajer portofolio di Pictet Asset Management.
"Saya tidak yakin alat bank sentral bekerja dalam skenario ini," katanya. "Di masa lalu, mereka memiliki kelonggaran untuk mengatasi situasi karena inflasi rendah."
Gangguan gas besar-besaran akan mendorong Euro Stoxx 50 ke 2.800, sekitar penurunan 20% dari level saat ini, tulis ahli strategi Sam Lynton-Brown dan Camille de Courcel.
TIM RISET CNBCÂ INDONESIA
(ras)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Perang Meletus, Harga Gas Meledak, Awas Eropa Krisis Energi
