
Dolar AS Masih Terlalu Perkasa, Rupiah Tertahan di Rp 14.985

Jakarta, CNBC Indonesia - Kurs rupiah sempat menguat di hadapan dolar Amerika Serikat (AS). Kemudian rupiah tertahan di Rp 14.985/US$ hingga pertengahan perdangan Rabu (13/7/2022). Keperkasaan dolar AS menekan pergerakan mayoritas mata uang di Asia.
Melansir data Refinitiv, rupiah membuka perdagangan dengan menguat sebanyak 0,1% ke Rp 14.970/US$. Kemudian, rupiah stagnan di Rp 14.985/US$ hingga pukul 11:00 WIB.
Semua perhatian investor akan fokus pada rilis inflasi AS per Juni yang akan dirilis pagi hari ini waktu setempat. Analis memprediksikan bahwa angka inflasi AS per Juni akan terakselerasi kembali ke 8,8% dan menjadi posisi tertinggi sejak 40 tahun.
Hal tersebut tentunya meningkatkan prediksi bahwa bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) akan kembali agresif untuk menaikkan suku bunga acuannya dan menopang keperkasaan dolar AS di pasar spot.
"Menurut saya, dolar AS akan tetap perkasa jika Indeks Harga Konsumen (IHK) meningkat lebih dari perkiraan," tutur Analis Commonwealth Bank Australia Joe Capurso dikutip dari Reuters.
Pukul 11:00 WIB, indeks dolar AS yang mengukur pergerakan si greenback terhadap 6 mata uang dunia lainnya, terpantau menguat 0,07% ke posisi 108,147.
Dana Moneter International (IMF) kembali memperingatkan bahwa menghindari resesi akan sangat 'menantang' untuk perekonomian AS. Bahkan, IMF kembali memangkas perkiraan pertumbuhan ekonomi AS di tahun ini menjadi 2,3% dari 2,9% pada akhir Juni lalu.
IMF juga memangkas perkiraan pertumbuhan PDB riil 2023 menjadi 1% dari 1,7% pada 24 Juni lalu. IMF mengatakan pengetatan kebijakan moneter Fed akan membantu menurunkan inflasi menjadi 1,9% pada kuartal keempat tahun 2023, dibandingkan dengan perkiraan 6,6% untuk kuartal keempat tahun 2022.
Ini akan semakin memperlambat pertumbuhan AS, tetapi IMF masih memperkirakan Amerika Serikat akan terhindar dari resesi.
Ekonom Departemen Belahan Barat IMF Andrew Hodge mengatakan dalam sebuah posting blog bahwa kenaikan suku bunga Fed dan berkurangnya pengeluaran pemerintah akan memperlambat pertumbuhan belanja konsumen menjadi sekitar nol pada awal tahun depan dan mengurangi ketegangan pasokan.
"Perlambatan permintaan akan meningkatkan pengangguran menjadi sekitar 5% pada akhir 2023, yang seharusnya menurunkan upah," kata Hodge.
Sementara itu, dari dalam negeri, Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Juda Agung memberikan sinyal terbaru mengenai kebijakan moneter untuk menyikapi kondisi perekonomian terkini.
"Bank Indonesia akan tetap mewaspadai tekanan inflasi dan dampaknya terhadap ekspektasi inflasi, serta siap menyesuaikan suku bunga jika ditemukan tanda-tanda peningkatan inflasi inti," jelasnya pada Rabu (13/7).
Diketahui bahwa inflasi per Juni 2022 tercatat naik dan menyentuh 4,35% dari 3,55% di Mei dan menjadi yang tertinggi sejak Juni 2017. Angka inflasi tersebut juga lebih tinggi dari target BI di 2-4%.
Sedangkan, inflasi inti mencapai 2,63% dan harga yang diatur pemerintah 5,33% serta yang bergejolak 10,3%.
"Inflasi meningkat didorong oleh tekanan dari sisi penawaran sebagai akibat wajar dari kenaikan harga komoditas internasional. Inflasi inti masih berada dalam kisaran sasaran Bank Indonesia," jelasnya.
Keputusan suku bunga acuan BI akan kembali dirilis pada pertemuan selanjutnya di 21-22 Juli 2022.
Keperkasaan dolar AS membuat mayoritas mata uang di Asia terkoreksi. Yen Jepang menjadi mata uang berkinerja terburuk hari ini, di mana terkoreksi 0,19% terhadap si greenback. Sedangkan, dolar Singapura dan ringgit Malaysia berhasil menguat yang masing-masing sebesar 0,11% terhadap dolar AS.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aaf)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Rupiah Dekati Rp 15.000/US$, Begini Kondisi Money Changer