Akhir Pekan Bursa Asia Kompak Melesat, Kecuali Shanghai
Jakarta, CNBC Indonesia - Mayoritas bursa Asia-Pasifik ditutup menghijau pada perdagangan Jumat (8/7/2022) akhir pekan ini, meski kekhawatiran pelaku pasar akan terjadinya resesi ekonomi global dan masih tingginya inflasi global tetap ada.
Indeks Nikkei Jepang yang sebelumnya sempat melesat lebih dari 1%, pada akhir perdagangan hari ini ditutup naik tipis 0,1% ke posisi 26.517,189.
Pelaku pasar di Jepang sempat sedikit khawatir dengan adanya peristiwa penembakan mantan Perdana Menteri (PM) Jepang, Shinzo Abe pada pagi menjelang siang hari waktu setempat.
Sebelumnya pada hari ini sekitar pukul 11:30 waktu setempat atau pukul 09:30 WIB, saat Abe sedang melaksanakan pidato politik di dekat stasiun Yamato-Saidaiji, kota Nara, tiba-tiba ada suara tembakan yang membuatnya jatuh dan mengalami pendarahan.
"Pada saat penyerangan, reporter Kyodo News yang sedang mewawancarai mendengar suara seperti dua tembakan," lapor media lokal lainnya Jepang, Niigata Nippo.
Perdana Menteri (PM) Jepang saat ini, yakni Fumio Kishida pun mengutuk keras aksi penembakan tersebut.
"Ini adalah tindakan tercela dan biadab yang terjadi di tengah-tengah pemilihan umum, yang merupakan dasar demokrasi. Saya mengutuk sangat keras atas aksi penembakan ini," kata Kishida, sebagaimana dikutip dari Asia Nikkei.
Sementara itu untuk bursa saham Asia-Pasifik lainnya juga ditutup menghijau. Indeks Hang Seng Hong Kong ditutup menguat 0,38% ke posisi 21.725,779, ASX 200 Australia bertambah 0,45% ke 6.678, Straits Times Singapura melesat 0,94% ke 3.131,26, KOSPI Korea Selatan terapresiasi 0,7% ke 2.350,61, dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berakhir melonjak 1,32% ke 6.740,219.
Sementara untuk indeks Shanghai Composite China ditutup melemah 0,25% ke posisi 3.356,08 pada perdagangan akhir pekan ini.
"Risiko di luar sana, tentu saja adalah inflasi yang meningkat dan di atas itu, ada juga risiko resesi yang akan datang," kata Hou Wey Fook, Chief Investment Officer di DBS kepada CNBC "Squawk Box Asia".
Investor global masih menunggu rilis data tenaga kerja Amerika Serikat (AS) per Juni 2022 yang dijadwalkan akan dirilis pada malam hari ini waktu Indonesia. Angka tersebut diprediksikan akan menunjukkan pasar tenaga kerja yang kuat dan melawan tanda-tanda resesi yang telah diproyeksikan sebelumnya.
Analis memprediksikan sebanyak 250.000 pekerjaan baru per Juni dan angka pengangguran tetap berada di 3,6%. Bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) akan mengawasi ketat rilis data tersebut untuk dijadikan tolok ukur kebijakan moneter selanjutnya.
Selain itu, data penyerapan tenaga kerja di luar sektor pertanian (non-farm payrolls/NFP) juga akan dirilis pada hari ini.
Data ini merupakan salah satu indikator yang digunakan The Fed dalam menetapkan kebijakan moneter, selain data inflasi tentunya.
Selain itu, Indeks Kesengsaraan (Misery Index) yang mengukur tingkat kesulitan ekonomi yang dirasakan masyarakat juga mulai menanjak. Data ini dipublikasikan oleh Federal Reserve Economic Data (FRED), mencapai 12% pada Mei lalu.
Level yang sama terjadi pada awal pandemi virus corona (Covid-19) dan awal krisis finansial 2008. Artinya, tingkat kesulitan ekonomi yang dirasakan sama seperti sebelum krisis finansial global dan awal pandemi Covid-19, dan keduanya berujung pada resesi di AS.
Selain itu, imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS (US Treasury) kembali mengalami inversi, yang menjadi sinyal awal terjadinya resesi. Inversi tersebut terjadi setelah yield Treasury tenor 2 tahun lebih tinggi ketimbang tenor 10 tahun.
Pada perdagangan pagi hari ini waktu AS, yield Treasury tenor 2 tahun turun ke posisi 3,016%, sedangkan yield Treasury tenor 10 tahun turun ke 2,982%.
Dalam kondisi normal, yield obligasi tenor lebih panjang akan lebih tinggi dari yield obligasi tenor pendek. Tetapi ketika inversi terjadi, maka posisinya terbalik.
Sebelumnya inversi juga terjadi pada April lalu, dan menjadi sinyal kuat akan terjadinya resesi di Negeri Paman Sam.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(chd/vap)