PM Inggris Mundur, Ini Dampaknya Ke Pasar Dunia dan RI!

Annisa Aflaha, CNBC Indonesia
08 July 2022 14:45
Ini Gonjang Ganjing Pemerintah Inggris
Foto: Infografis/Ada Skandal Pelecehan Seksual, Ini Gonjang Ganjing Pemerintah Inggris/Aristya Rahadian

Jakarta, CNBC Indonesia - Dunia politik Inggris gonjang-ganjing. Puluhan Menteri dan pembantunya di kabinet mengundurkan diri.

Buntut dari aksi mundur berjamaah itu, Perdana Menteri (PM) Boris Johnson pun akhirnya mengundurkan diri setelah sebelumnya terus mengalami desakan. Lalu, apa dampak terhadap pasar keuangan dunia dan RI?

Sebanyak lebih dari 50 menteri dan pejabat negara Inggris mengajukan pengunduran diri masal setelah diangkatnya Chris Pincher sebagai Deputy Chief Whip yang bertugas untuk mengatur kontribusi partai di parlemen. Kini, Pincher tengah terjerat kasus pelecehan seksual.

Sebelumnya Johnson masih bersikukuh dan mengatakan akan melanjutkan pemerintahannya. Namun, semakin banyaknya pejabat mundur, akhirnya Johnson pun setuju untuk mundur dari tahtanya. Johnson akan tetap menjalani tugasnya sebagai PM Inggris hingga PM baru terpilih oleh Partai Konservatif pada Oktober.

Johnson diangkat sebagai PM Inggris sejak 24 Juli 2019 dan kurang lebih telah menduduki tahta tersebut selama tiga tahun. Berdasarkan survei The World Bank, angka stabilitas politik Inggris di bawah kepemimpinan Johnson telah menurun dari 0,54 di 2019 ke 0,47 di 2020.

Indikator pengukuran tersebut yakni ketika angka berada di sekitar -2,5 menandakan kestabilan politik suatu negara lemah, tapi jika berada di 2,5 maka kestabilan politik negara tersebut kuat.

Meskipun, angka kestabilan politik Inggris masih berada di zona positif, tapi peluang akan tergerus masih besar, di tengah kemelut pemerintahannya akhir-akhir ini.

Sejatinya, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas politik sangat terkait satu sama lain. Ketidakpastian terkait dengan lingkungan politik yang tidak stabil dapat mengurangi investasi baik dari dalam negeri maupun luar negeri, hingga menghambat laju pembangunan ekonomi.

Sebaliknya, kinerja ekonomi yang buruk juga dapat menyebabkan keruntuhan pada pemerintahan hingga menimbulkan kerusuhan politik.

Inggris merupakan negara dengan perekonomian terbesar di dunia dan menempati posisi kelima setelah Jerman. Melansir data Dana Moneter International (IMF), ekonomi Inggris berkontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dunia mencapai US$ 3,1 triliun.

Bahkan, Institute of Chartered Accountants England and Wales (ICAEW) melaporkan pada 2021, PDB Inggris berkontribusi sebanyak 3% dari PDB dunia, di mana ekonomi Inggris dihasilkan dari populasi masyarakat yang kurang dari 1% dari populasi dunia.

Tidak hanya itu, pasar saham Inggris menjadi pasar saham dengan kontribusi terbesar di dunia dengan urutan ketiga, setelah Amerika Serikat dan Jepang. Pasar saham Inggris berkontribusi sebanyak 3,9%, jika mengacu pada data Statista per Januari 2022.

Jika melihat kondisi politik di Negara Big Ben tersebut, langkah Johnson untuk mundur mungkin menjadi langkah terbaik saat ini untuk menghindari kekisruhan politik yang akan menyebabkan perlambatan pada ekonominya.

Pasalnya, Inggris merupakan salah satu negara dengan perekonomian terbesar di dunia. Jika ekonomi Inggris menurun akibatnya juga akan berdampak pada keberlangsungan ekonomi dunia.

Setelah Johnson mengundurkan diri, hal tersebut direspons oleh pasar dengan sangat positif. Pada Kamis (7/7/2022) sore waktu Indonesia, poundsterling melesat tajam 0,54% melawan dolar AS ke US$ 1,1994. Padahal, pada hari sebelumnya poundsterling sempat anjlok hingga menyentuh level terlemahnya lebih dari 1 tahun.

Hal serupa terjadi pada indeks FTSE 100 di London yang berakhir melesat 1,14% ke 7.189,08 pada perdagangan Kamis (7/7).

Bagaimana dampaknya terhadap ekonomi RI? Simak di halaman berikutnya

Inggris merupakan anggota G-20 dan mitra penting kerja sama bilateral Indonesia. Meski dibayangi dengan ketidakpastian ekonomi global, tapi nilai perdagangan bilateral kedua negara meningkat 18% di 2021, dari US$ 2,2 miliar menjadi UD 2,6 miliar.

Sementara investasi Inggris di Indonesia meningkat 67%, dari US$ 192,8 juta menjadi US$ 322,9 juta.

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia, nilai ekspor Indonesia ke Inggris dari tahun 2018 hingga ke 2020 mengalami penurunan dari US$ 1.4 miliar ke US$ 1.2 miliar.

Meski begitu, Indonesia masih mendapatkan surplus sebanyak US$ 414 juta atau setara Rp 6,2 miliar (asumsi kurs Rp 14.995/US$) dari aktivitas perdagangan dengan Inggris tahun 2020.

Impor RI dari Inggris kebanyakan memang barang modal yang digunakan untuk industri manufaktur dalam negeri.

RI banyak impor barang-barang manufaktur seperti permesinan (HS 84) dan barang-barang yang dapat dikategorikan ke dalam mesin elektrik (HS 85).

Indonesia juga mengimpor besi dan baja (HS 72) dari Inggris. Sedangkan Indonesia banyak mengekspor produk-produk fashion (HS 64) dan produk hasil kayu (HS 44) ke Inggris.

Maka dari itu, jika ekonomi Inggris mengalami penurunan karena politik yang tidak stabil, bukan hanya ekonomi dunia saja yang berpotensi dirugikan tapi ekonomi Indonesia juga akan terdampak.

Permintaan Inggris akan ekspor dari Indonesia mungkin akan menurun, sehingga berdampak pada pendapatan negara atau devisa.

Tidak hanya itu, pasar keuangan Indonesia juga terancam, karena Inggris mungkin saja menurunkan investasinya.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular