
Hati-hati Krisis Sub-Prime Mortgage, Bu Sri Mulyani...

Jakarta, CNBC Indonesia - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan keresahannya terkait kemampuan masyarakat Indonesia yang diprediksi akan semakin sulit memiliki rumah di tengah tren kenaikan suku bunga. Demi mengatasi hal tersebut mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia mengatakan perlu dilakukan terobosan untuk mempermudah pembelian rumah. Salah satunya adalah dengan melakukan sekuritisasi terhadap cicilan Kredit Pemilikan Rumah (KPR).
Sekuritisasi tersebut kemudian dijadikan underlying asset atau dasar transaksi dalam penerbitan surat berharga yang dijualbelikan dalam pasar sekunder.
Dalam keterangan Kementerian Keuangan, Sri Mulyani mencontohkan bagaimana aset KPR bisa dijadikan underlying asset untuk penerbitan surat berharga yang kemudian dijual di pasar sekunder disebut Efek Beragun Aset berbentuk Surat Partisipasi (EBA-SP).
Dia menambahkan investor kemudian bisa menimbang risiko terkait serta rate of return dan menciptakan likuiditas baru bagi penerbit EBA-SP.
Efek Beragun Aset (EBA) sebenarnya telah diperkenalkan sebelumnya dan pertama kali dilakukan oleh Bank BTN sejak tahun 2009 yang kala itu menjual aset KPR kepada Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset (KIK-EBA) yang dikelola oleh Danareksa sebagai manajer investasi dan Bank Rakyat Indonesia senilai Rp 100 miliar.
EBA dengan kode DSMF01 tersebut berjangka waktu sembilan tahun, sampai dengan 10 Maret 2018, memiliki tingkat bunga 13% per tahun dengan pembayaran kupon bunga setiap tiga bulan. EBA ini juga mendapatkan peringkat Aaa (Triple A) dari PT Moody's Indonesia dan IdAAA dari Pefindo.
Selanjutnya Bank BTN juga kembali menerbitkan produk serupa bekerja sama dengan Sarana Multigriya Finansial dan diberi nama EBA-SP. Meski demikian instrumen ini memang belum setenar jenis investasi lain seperti deposito, reksadana, Surat Berharga Negara (SBN), obligasi maupun saham. Selain itu, instrumen ini juga masih diperdagangkan secara terbatas dan baru diperkenalkan kepada investor ritel sejak akhir tahun 2019.
Efek Beragun Aset (EBA) atau dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah asset-backed security adalah efek (surat berharga) yang dijamin oleh underlying aset seperti sekumpulan aset seperti tagihan kartu kredit, pemberian kredit dan lain sebagainya, termasuk KPR yang di luar negeri dikenal sebagai mortgage-backed securities (MBS).
KIK-EBA dan EBA-SP sendiri pada dasarnya merupakan MBS di mana BTN sebagai kreditor awal (originator) mengalihkan aset keuangannya kepada para pemegang EBA. MBS dibuat dari gabungan sekumpulan tagihan KPR yang biasanya memiliki tenor dan bunga yang sama dan kemudian dijual kepada berbagai pihak termasuk bank investasi, hedgefund atau manajer investasi pengelola dana.
Selanjutnya bank investasi dapat menyatukan aset tersebut dan dijadikan entitas lalu dipecah menjadi fraksi yang lebih kecil untuk ditawarkan kepada investor lain. MBS dapat dibeli dan dijual melalui broker dan investasi minimum bervariasi antar penerbit.
Pada dasarnya, EBA dari tagihan KPR ini mengubah bank menjadi perantara antara pembeli rumah dan industri investasi. Bank dapat memberikan KPR kepada pembeli rumah dan kemudian menjualnya dengan harga diskon untuk dimasukkan ke dalam MBS.
Bagaimana Sekuritisasi Bikin Harga Rumah Turun?
Dengan sistem KPR saat ini, bank tempat Anda meminjam akan membeli rumah impian Anda lalu dijual kepada Anda dengan cara mencicil yang sebagian tenornya mencapai 30 tahun. Artinya butuh waktu yang lama bagi bank untuk memperoleh kembali investasinya, meskipun Anda telah membayar biaya muka dan bunga yang relatif.
Pengembalian yang relatif lama, membuat kemampuan bank untuk membiayai masyarakat lain yang ingin membeli rumah menjadi kian terbatas. Hal ini secara tidak langsung ikut mendongkrak harga rumah karena ketersediaan yang terbatas, tetapi permintaannya meningkat tajam terus menerus.
Ide awal dibuatnya MBS adalah untuk menyelesaikan permasalahan ini, di mana bank bukan lain yang membiayai akan tetapi hanya sebagai perantara. Artinya pembelian rumah dibiayai oleh investor dan Anda akan membayarkan cicilan kepada investor melalui bank.
Bank dapat memperoleh keuntungan dari berbagai biaya atau komisi yang dibayarkan, selanjutnya kumpulan tagihan KPR akan dijual kepada bank investasi yang berminat. Sebagai contoh, misalkan 1.000 rumah masing-masing seharga Rp 1 miliar sudah diberikan dalam bentuk KPR ke masyarakat, berarti bank tersebut telah berinvestasi Rp 1 triliun dan harus menunggu sekian tahun sebelum bisa diinvestasikan kembali.
Dalam skema MBS, bank dapat menjual langsung kepada bank investasi atau hedgefund dengan harga Rp 1 triliun dan memperoleh kembali investasinya secara kilat dan mendapatkan untung dari biaya-biaya lain yang dibayarkan pemilik rumah.
Pengembalian cepat tersebut akhirnya dapat memberi keleluasaan bagi bank untuk membiayai KPR baru dan pada akhirnya secara tidak langsung mampu menurunkan harga rumah karena bank mampu menyedia pasokan yang lebih banyak dari semula. Penambahan pasokan yang tidak diiringi kenaikan permintaan yang lebih tinggi akan menekan harga rumah.
Bank investasi atau hedgefund dapat memegang instrumen tersebut sampai akhir jatuh tempo dan memperoleh fix income dari cicilan KPR. Selain itu mereka juga dapat membuat entitas baru yang menggabungkan aset tersebut dan dijual dalam fraksi yang lebih kecil kepada investor lain, termasuk ritel.
Sebagai contoh investasi Rp 1 triliun yang disebutkan sebelumnya masing-masing memiliki bunga KPR 10% dan tenor 10 tahun. Bank investasi dapat memecahnya menjadi 10 juta surat berharga (MBS) sehingga masing-masing berharga Rp 100.000.
Untuk memperoleh keuntungan, instrumen tersebut akan dijual di harga premium misalkan Rp 105.000 per lembar, yang artinya bank investasi dalam memperoleh keuntungan 5% atau Rp 50 miliar dari penjualan MBS tersebut. Selanjutnya investor yang memesan MBS akan memperoleh keuntungan dari pembayaran cicilan KPR ditambah bunga 10%, yang artinya jika membeli satu lembar MBS seharga Rp 105.000 dalam sepuluh tahun instrumen tersebut akan bernilai total Rp 200.000.
Meski memiliki tujuan mulia yang dapat memberikan keuntungan kepada banyak pihak, MBS akan menjadi bermasalah apabila terjadi gagal bayar dalam jumlah yang signifikan dan membuat investor mengalami kerugian.
Sri Mulyani sendiri menyadari risiko dari sekuritisasi aset KPR dan karena itulah, dia menegaskan underlying asset harus tetap sound, risk management harus tetap baik dan juga transparan.
Bendahara Negara berharap sejumlah pihak ikut berpartisipasi dalam mempermudah pembiayaan perumahan. Menurutnya, Bank Indonesia bisa membantu melalui kebijakan makroprudensial yaitu dengan menurunkan risiko dari Aset Tertimbang Menurut Risiko atau ATMR-nya untuk sektor perumahan dan melonggarkan loan to value.
Meskipun diatur secara ketat, penerbitan MBS dalam jumlah besar dapat menyebabkan housing bubble, apalagi jika penerbit MBS dan bank penyedia KPR yang terlalu serakah diikuti oleh lembaga pemeringkatan yang tidak jujur. Hal tersebut yang terjadi di AS pada saat krisis global 2008.
Permintaan tinggi oleh investor yang menganggap MBS sebagai investasi aman dan diafirmasi oleh rating tinggi membuat bank pemberi KPR dan bank investasi penerbit MBS semakin serakah dengan memberikan lebih banyak KPR kepada mereka yang tidak mampu membayar.
Selain itu bank yang kala itu menganggap pasar perumahan tidak mungkin hancur ikut menawarkan 'asuransi' bagi mereka yang ingin merasa aman, jika terjadi kondisi gagal bayar. Premi besar dari hasil penjualan credit default swap (CDS) tersebut ikut membuat pihak bank terlena.
Semakin banyak KPR tidak sesuai target menimbulkan peningkatan KPR bermasalah (subprime mortgage). Karena kurang laku dijual, KPR bermasalah tersebut mulai digabungkan dengan KPR bagus supaya dapat memperoleh rating yang lebih baik dan dengan harapan jika terjadi gagal bayar, setidaknya investor masih bisa memperoleh keuntungan dan bank tidak perlu membayar klaim CDS.
Nyatanya, gabungan hal tersebut malah menjadi petaka di mana subprime mortgage menjadi bahan bakar utamanya runtuhnya pasar perumahan AS.
Krisis tersebut semakin cepat dan liar saat the Fed mengetatkan kebijakan dengan menaikkan suku bunga acuan pada 2007. Banyak peminjam yang gagal bayar karena tingginya bunga sehingga bank harus membayarkan klaim yang jumlahnya besar kepada pemegang CDS dan dalam kurun waktu singkat, MBS menjadi tidak ada harganya.
Kerugian semakin besar karena investor institusi dan bank mencoba dan gagal mengeluarkan investasi MBS yang sudah menjadi 'sampah' dari portofolionya. Pengetatan kebijakan menyebabkan banyak bank dan lembaga keuangan tertatih-tatih dan berada diambang kebangkrutan. Meluas krisis ke sektor perbankan dan lembaga pembiayaan ikut menyeret nama-nama terkenal seperti Lehman Brothers yang kini menjadi sejarah.
Selain itu terganggunya sektor peminjaman karena likuiditas terbatas menjalar luas dan membuat seluruh perekonomian terancam kolaps.
Kondisi tersebut membuat Departemen Keuangan AS harus turun tangan dengan Kongres untuk mengesahkan bailout sistem keuangan senilai US$ 700 miliar untuk meredakan krisis kredit. Federal Reserve juga ikut membeli MBS triliun dolar selama beberapa tahun sementara Program Bantuan Aset Bermasalah (Troubled Asset Relief Program/TARP) menyuntikkan modal secara langsung ke bank.
Saat ini MBS masih terus diperdagangkan di AS hal ini karena memang terdapat pasar bagi karena jika dikelola dan diterbitkan dengan bagus, orang pada umumnya pasti membayar KPR mereka jika mampu. The Fed saat masih memegang sebagian besar kepemilikan MBS, tetapi secara bertahap menjual kepemilikannya. Mengutip data Federal Reserve Economic Data (FRED), hingga 6 Juli lalu, bank sentral AS tersebut memiliki aset dalam bentuk MBS senilai US$ 2,71 triliun. Angka ini kembali naik signifikan pasca pandemi, di mana di awal 2020 kepemilikan aset MBS tercatat sempat berada di angka US$ 1,6 triliun.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(fsd)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Orang Makin Susah Beli Rumah, Solusinya Apa Bu Sri Mulyani?
