Rupiah Makin Melemah, Ini Dampak Buruk yang Harus Diatasi

Jakarta, CNBC Indonesia - Pelemahan nilai tukar rupiah mulai mengkhawatirkan. Kini dolar Amerika Serikat (AS) sudah menembus level Rp 15.000 dan dimungkinkan tren pelemahan ini akan berlanjut ke depannya.
Ekonom Universitas Indonesia, Ninasapti Triaswati menuturkan dampak pelemahan rupiah ini harus diantisipasi. Khususnya untuk komoditas energi dan pangan yang berasal dari negara lain.
"Pada dasarnya kita harus antisipasi ada dampak ke barang yang kita impor," ungkapnya dalam wawancara dengan CNBC Indonesia TV, Kamis (7/7/2022)
Energi menjadi komoditas yang terkena dampak pelemahan nilai tukar, baik itu Bahan Bakar Minyak (BBM) dan LPG. Namun sejauh ini pemerintah menahan kenaikan harga lewat tambahan subsidi yang mencapai Rp 520 triliun pada 2022.
Sementara pada komoditas pangan, seperti gula, garam dan kedelai serta gandum juga akan alami kenaikan harga. "Kita masih impor bahan pangan strategis," imbuhnya.
Apabila tidak diantisipasi, persoalan ini akan mendorong kenaikan inflasi yang saat ini sudah tinggi. Inflasi pada Juni 2022 tercatat 0,61% dibandingkan bulan sebelumnya (month-to-month/mtm). Inflasi tahun kalender adalah 3,19%
Secara tahunan (year-on-year/yoy), inflasi Juni 2022 berada di 4,35%. Lebih tinggi dibandingkan Mei 2022 yang 3,55% sekaligus jadi yang tertinggi sejak Juni 2017.
Sementara itu, inflasi inti mencapai 2,63% dan harga yang diatur pemerintah 5,33% serta yang bergejolak 10,3%.
"Inflasi dari tekanan impor itu dikhawatirkan karena menekan daya beli masyarakat," pungkasnya.
(mij/mij)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Inflasi AS Sesuai Ekspektasi, Rupiah Melemah ke Rp15.715/US$