Covid-19 di China Bikin Parno Lagi, Bursa Asia Longsor

Chandra Dwi Pranata, CNBC Indonesia
06 July 2022 16:51
An electronic board shows Hong Kong share index outside a local bank in Hong Kong, Wednesday, Jan. 16, 2019. Asian markets are mixed as poor Japanese data and worries about global growth put a damper on trading. (AP Photo/Vincent Yu)
Foto: Bursa Hong Kong (AP Photo/Vincent Yu)

Jakarta, CNBC Indonesia - Bursa Asia-Pasifik ditutup berjatuhan pada perdagangan Rabu (6/7/2022), di tengah munculnya kembali kekhawatiran pelaku pasar terkait pandemi virus corona (Covid-19) di China dan anjloknya harga minyak mentah dunia.

Indeks Nikkei Jepang ditutup ambles 1,2% ke posisi 26.107,65, Hang Seng Hong Kong ambrol 1,22% ke 21.586,66, Shanghai Composite China anjlok 1,43% ke 3.355,35, dan ASX 200 Australia melemah 0,53% ke 6.594,5.

Berikutnya Straits Times Singapura turun tipis 0,07% ke 3.102,04, KOSPI Korea Selatan ambruk 2,13% ke 2.292,01, dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berakhir merosot 0,85% ke posisi 6.646,41.

"Putaran baru pengujian Covid-19 di Shanghai telah meningkatkan kembali kekhawatiran pasar akan penguncian lebih lanjut di China, di mana hal ini akan memiliki efek riak di pasar lain," kata ANZ Research dalam riset hariannya, dikutip dari CNBC International.

Pemerintah kota Shanghai akan kembali melakukan pengujian massal di beberapa distrik setelah beberapa kasus Covid-19 terdeteksi kembali pada awal pekan ini.

"Sekitar 11 kota di China kembali membatasi pergerakan lokal pada Senin lalu, di mana hal ini naik dari lima kota sepekan sebelumnya," ujar Ting Lu, kepala ekonom China di Nomura, dilansir dari CNBC International.

China kembali memberlakukan penguncian (lockdown) pada beberapa wilayahnya. Terbaru, otoritas mengunci 13 juta warga di kota Xi'an, Provinsi Shaanxi akibat penularan subvarian Omicron.

Zhang Yi, dari pusat pengendalian dan pencegahan penyakit di Shaanxi, mengatakan kepada media lokal bahwa subvarian Omicron, yang dikenal sebagai BA.5, berada di balik wabah terbaru di Xi'an.

"Subvarian Omicron BA.5 bahkan lebih mudah menular dan menyebar lebih cepat daripada sublineage BA2.2 sebelumnya, dan kemungkinan besar lolos dari antibodi," kata Zhang kepada media China, dikutip The Guardian, Rabu (6/7/2022) hari ini.

Selain itu, investor juga cenderung khawatir dengan harga minyak mentah yang terpantau ambruk pada perdagangan hari ini.

Jebloknya harga minyak mentah menjadi indikasi ketakutan pasar akan resesi dunia. Pada pagi hari ini, minyak jenis West Texas Intermediate (WTI) ambrol 8,2% ke bawah US$ 100/barel, bahkan sebelumnya sempat merosot lebih dari 10%. Brent juga merosot hingga 9,5% ke US$ 102,77/barel.

Di lain sisi, investor di global menanti hasil dari rapat Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) bank sentral Amerika Serikat (AS), Federal Reserve (The Fed) pada Rabu siang waktu AS atau Kamis dini hari waktu Indonesia.

Bank sentral paling powerful di dunia ini akan kembali menaikkan sebesar 50-75 basis poin (bp), dan di akhir tahun suku bunga diproyeksikan berada di kisaran 3,25-3,5%.

Masalah muncul di sini, suku bunga yang dianggap pro pertumbuhan berada di bawah 2,5%, sementara di atasnya akan memicu kontraksi ekonomi.

Maklum saja, dengan suku bunga tinggi, kredit akan seret, ekspansi dunia usaha juga akan melambat, begitu juga dengan belanja konsumen yang akan semakin tertekan.

Alhasil, Negeri Paman Sam diperkirakan akan mengalami resesi. Negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia ini bahkan diperkirakan akan mengalami resesi yang panjang, meski kontraksi ekonominya tidak akan dalam.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(chd/vap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Perdagangan Perdana di 2024, Bursa Asia Dibuka Beragam

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular