
Gawat! Begini Kata Analis Soal IHSG yang Ambruk 2,5%

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar finansial Indonesia bergejolak pada perdagangan Senin (4/7/2022). Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) nyungsep hingga ke bawah 6.600, sementara rupiah mendekati lagi Rp 15.000/US$.
Pada pukul 11.30 WIB, koreksi IHSG sedikit mereda. IHSG menutup sesi pertama perdagangan hari ini dengan melemah 2,53% ke level 6.622,45.
Analis NH Korindo Sekuritas, Dimas Wahyu menilai kekhawatiran kenaikan suku bunga, baik the Fed ataupun BI karena inflasi lebih besar dari 4%, membuat IHSG jeblok. Bukan cuma itu, kenaikan harga minyak goreng yang belum diimbangi dengan kenaikan daya beli juga menjadi salah satu faktor.
"Di dalam negeri, rupiah hampir mendekati Rp 15.000 dan pembayaran utang dan impor bisa menguras cadangan devisa. Secara teknikal sewaktu indeks jebol level 6.850 ada potensi penurunan lebih dalam menuju 6.500," ungkap Dimas.
Meski begitu, dia berharap IHSG hari ini bisa ditutup di atas 6.600 dengan potensi rebound ke 6.960. "Semoga dengan tadi (intraday) low di 6.559 sudah menjadi yang paling bawah," ungkap Dimas.
Sementara itu, Associate Director Pilarmas Investindo Sekuritas, Maximilianus Nico Demus mengatakan kalau pergerakan IHSG masih sangat dilematis dengan masalah seperti sebelumnya yaitu inflasi, kenaikan tingkat suku bunga, ancaman resesi, perlambatan ekonomi, dan juga perang antara Rusia-Ukraina.
"Semua itu membuat pasar khawatir. Sebetulnya, alih-alih khawatir lebih baik menjadi kesempatan yang bagus untuk mulai membeli," ungkap Nico.
Di sisi lain, Nico memprediksi begitu The Fed tenang, sekitar Juli-Agustus, maka pasar juga akan lebih tenang.
Melansir data Refinitiv, IHSG sempat jeblok hingga 3,5% ke 6.559,637. Sementara rupiah melawan dolar Amerika Serikat (AS) berada di kisaran Rp 14.955/US$, melemah 0,13% di pasar spot.
Survei terhadap chief financial officer (CFO) yang dilakukan CNBC International awal Juni lalu menunjukkan sebanyak 68% melihat perekonomian AS diprediksi akan mengalami resesi di semester I-2023.
Tidak hanya itu, Citigroup bahkan memprediksi perekonomian global akan mengalami resesi dalam 18 bulan ke depan, dengan probabilitas sebesar 50%. Citigroup melihat, dengan inflasi yang sangat tinggi, maka daya beli masyarakat yang merupakan motor penggerak perekonomian akan tergerus.
Alhasil, sentimen pelaku pasar pun memburuk. Apalagi dari dalam negeri sudah ada tanda-tanda pelambatan ekonomi. Ekspansi sektor manufaktur mulai melambat, bahkan nyaris mengalami kontraksi.
S&P Global mengumumkan aktivitas manufaktur yang diukur dengan Purchasing Managers' Index (PMI) Indonesia periode Juni 2022 berada di 50,2. PMI menggunakan angka 50 sebagai tolok ukur. Kalau masih di atas 50, maka artinya berada di zona ekspansi.
Akan tetapi, pencapaian Juni turun dibandingkan bulan sebelumnya yang tercatat 50,8. Skor PMI manufaktur Indonesia memang sudah 10 bulan beruntun di atas 50, tetapi Juni menjadi yang terendah.
"PMI berada di posisi terendah selama periode ekspansi, hanya tipis di atas zona netral 50. Hanya ada sedikit perbaikan, yaitu di sektor kesehatan," ungkap laporan S&P Global.
Industri pengolahan merupakan kontributor terbesar produk domestik bruto (PDB) berdasarkan lapangan usaha. Di kuartal I-2022 kontribusinya lebih dari 19% dari total PDB. Sehingga, ketika sektor manufaktur berkontraksi, pastinya akan berdampak ke perlambatan pertumbuhan ekonomi.
(vap/vap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article IHSG Ambruk Usai Libur Lebaran