Negeri Putin (Katanya) Default, Utang RI Aman Pak Jokowi?

Maesaroh, CNBC Indonesia
28 June 2022 15:49
Jokowi Bayar Utang RI Sampai Menyusut, Uangnya dari Mana?
Foto: Infografis/Jokowi Bayar Utang RI Sampai Menyusut, Uangnya dari Mana?/Aristya Rahadian

Jakarta, CNBC Indonesia - Krisis ekonomi dan moneter pernah membuat Indonesia terjebak dalam tumpukan utang dan pinjaman luar negeri yang membatasi gerak ekonomi. Indonesia kemudian belajar bagaimana mengelola utang dengan lebih baik dari serangkaian pengalaman buruk tersebut.

Sejarah utang luar negeri Indonesia sudah bermula dari presiden pertama, Ir Sukarno. Proklamator Indonesia tersebut memandang utang luar negeri sebagai penghinaan karena melukai harkat martabat bangsa.

Namun, proyek mercusuar yang dibangun Sukarno mulai dari Tugu Monumen Nasional (Monas), Gelora Bung Karno (GBK), hingga sejumlah patung peringatan. Indonesia pada Juli 1959 meminjam dari Uni Soviet US$ 12,5 juta untuk membangun Stadion GBK serta US$ 250 juta untuk membeli peralatan perang Trikora pada 1960.

Indonesia juga memiliki utang sebesar 4,2 miliar gulden yang merupakan warisan Hindia Belanda. Pada Agustus 1965, Indonesia keluar dari Dana Moneter Internasional (IMF) dengan catatan utang US$ 63,5 juta.

Utang luar negeri Indonesia terus bertambah pada era Suharto yang gencar melakukan pembangunan infrastruktur. Utang pada masa orde baru lebih didominasi oleh loan, soft loan, grant ataupun pinjaman program.

Indonesia juga mulai menjalin kerja sama dengan lembaga multilateral seperti Asian Development Bank (ADB) dan Bank Dunia untuk mencari pinjaman luar negeri.

Era Orde Baru yang dimulai pada 1966 berakhir pada 1998 setelah Krisis Moneter meluluhlantakkan kondisi ekonomi, sosial, dan politik Indonesia. Krisis tersebut juga membuat tumpukan utang baik dari pemerintah dan swasta menggunung.



Menurut laporan Krisis Moneter Indonesia : Sebab, Dampak, Peran IMF dan Saran, pada awal Mei 1998 besarnya utang luar negeri swasta dari 1.800 perusahaan diperkirakan berkisar antara US$ 63 hingga US$ 64 milyar, sementara utang pemerintah US$ 53,5 miliar.

Presiden Soeharo pada Januari 1998 bahkan harus menandatangani Letter of Intent (LoI) dengan IMF. Indonesia pun menjadi 'pasien' IMF selama bertahun-tahun.

IMF menyetujui pinjaman senilai 17,36 Special Drawing Rights (SDR) pada 1998 meskipun hanya dicairkan sebesar 11,1 miliar SDR.

Indonesia sepenuhnya bisa melunasi utang IMF pada 2006 lalu. Berdasarkan data Kementerian Keuangan, outstanding utang luar negeri pemerintah meningkat tajam dari Rp 237 triliun pada 1997 menjadi Rp 581 triliun pada 2000.

Pinjaman IMF menjadi 'obat pahit' bagi Indonesia karena justru membuat ekonomi Indonesia limbung. Ada 50 butir kesepakatan dalam perjanjian dengan IMF yang membuat perekonomian Indonesia limbung. Mulai dari likuidasi 16 bank hingga penerapan nilai tukar mengambang atau sesuai pasar.

Namun, Krisis Moneter 1997/1998 juga membuat Indonesia banyak berbenah terutama dalam pengelolaan perbankan dan keuangan negara. Pemerintah menerbitkan Undang Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang mengatur batas defisit anggaran maksimal 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Jumlah utang pemerintah dibatasi maksimal 60% dari PDB.

Mulai era reformasi, utang juga tidak dianggap sebagai pelengkap atau penerimaan pembangunan. Utang dianggap sebagai bagian dari pembiayaan atas defisit anggaran.


Pemerintah kemudian menggali berbagai macam sumber pembiayaan defisit mulai dari menerbitkan Surat Utang Negara (SUN), penjualan aset, hingga privatisasi aset negara atau BUMN.

Mulai 1999, pemerintah juga mulai menggali sumber utang dari dalam negeri. Sebagai catatan, pemerintah selalu mengandalkan utang dari luar negeri hingga 1998.

Pada awal reformasi yakni pada 2000, rasio utang Indonesia membengkak menjadi 70% dari PDB. Outstanding utang pada 2000 membengkak menjadi Rp 1.333 triliun yang terdiri dari utang valas senilai Rp 581 triliun dan rupiah sebesar Rp 652 triliun. Rasio sumber utang bergeser dari mayoritas luar negeri menjadi lebih dari 50% dari dalam negeri.

Sejarah utang Indonesia memulai tonggak baru pada 2002 menerbitkan UU 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara. UU tersebut mengizinkan pemerintah untuk mencari pembiayaan utang melalui penerbitan Surat Berharga Negara (SBN).

Utang melalui penerbitan SBN akan memudahkan pemerintah dalam mengelola APBN karena tidak ada persyaratan khusus yang mengikat seperti halnya pada pinjaman luar negeri. Pemerintah juga lebih fleksibel dalam mengambil jumlah utang yang diterbitkan sesuai kondisi pasar.


SBN kemudian tidak hanya dijual kepada lembaga/institusi. Pada 2006, pemerintah mulai menjual surat utang ritel kepada masyarakat Indonesia untuk memperkuat basis investor sekaligus mengurangi porsi asing.

Indonesia juga memperluas basis investor di luar negeri dengan mengeluarkan sejumlah surat utang denominasi valas mulai dari global bond, samurai bond, hingga global sukuk.

Namun, penerbitan SBN bukan tanpa masalah. Besarnya porsi asing dalam kepemilikan SBN membuat Indonesia rentan terhadap gejolak pasar global.

Untuk menekan porsi asing, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga mewajibkan perusahaan asuransi untuk menempatkan investasi mereka minimum 30% ke obligasi. Pemerintah juga memperbanyak penjualan ritel juga diperbanyak menjadi 3-5 kali setahun dari semula 1-2 per tahun. Kondisi ini setidaknya meningkatkan kepemilikan investor ritel dari semula hanya 1% kini menjadi sekitar 5%.

Pemerintah juga dibantu Bank Indonesia dalam mengelola yield SBN. BI akan masuk membeli SBN jika rupiah yield melonjak. Keberadaan BI juga membuat porsi asing semakin berkurang, terutama setelah program burden sharing dalam rangka pembiayaan kebutuhan penanganan pandemi Covid-19.

 

Kebijakan portofolio asuransi di instrument SBN, keberadaan BI, serta peningkatan investor ritel membuat pemerintah bisa mengurangi satu momok besar selama ini yakni besarnya porsi asing dalam kepemilikan SBN.

Porsi asing sudah jauh berkurang dari sekitar 39% pada akhir 2018 menjadi 19% pada Juni 2022. Rasio utang pemerintah memang meningkat tajam sejak pandemi Covid-19 hingga berada di kisaran 41% pada akhir 2021 dari sekitar 34% pada 2018.

Namun, semakin berkurangnya porsi asing akan mengurangi tekanan global saat terjadi ketidakpastian di pasar keuangan global seperti sekarang ini.

TIM RISET CNBC INDOENSIA


(mae/mae)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Disebut Bahlil Sudah Lunas, Begini Kronologi RI Utang ke IMF

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular