6 Hari Terpuruk, Rupiah Akhirnya Menguat Juga!

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
21 June 2022 15:15
Ilustrasi Rupiah dan dolar (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Foto: Ilustrasi Rupiah dan dolar (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah akhirnya sukses mencatat penguatan melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Selasa (21/6/2022). Dengan demikian, rupiah sukses mengakhiri pelemahan dalam 6 hari beruntun, dengan total sekitar 2%.

Melansir data Refinitiv, rupiah langsung menguat ke Rp 14.810/US$. Penguatan rupiah kemudian terpangkas hingga tersisa 0,03% saja. Tetapi, setelahnya melesat 0,54% ke Rp 14.750/US$, sebelum mengakhiri perdagangan di Rp 14.810/US$, sama dengan level saat pembukaan atau menguat 0,13%. 


Indeks dolar AS yang berbalik turun memberikan ruang bagi rupiah untuk menguat. Hingga sore ini, indeks yang mengukur kekuatan dolar AS ini merosot 0,52% ke 104,15.

Pelaku pasar kini menanti testimoni ketua bank sentral AS (The Fed) Jerome Powell di hadapan Kongres AS pada Rabu dan Kamis waktu setempat.

Testimoni yang dilakukan 2 kali setahun ini terjadi setelah pada pekan lalu The Fed menaikkan suku bunga sebesar 75 basis poin menjadi 1,5% - 1,75%, dan menjadi kenaikan yang terbesar sejak 1994.

Tidak hanya itu, The Fed juga memproyeksikan suku bunga di akhir tahun ini berada di 3,25% - 3,5%.

Powell kemungkinan besar akan menghadapi pertanyaan kenaikan suku bunga yang agresif di tengah tanda-tanda perekonomian yang mulai melambat oleh anggota parlemen AS. Kemudian seberapa besar ancaman resesi yang dihadapi Amerika Serikat.

Beberapa analis memulai mempertanyakan pernyataan-pernyataan Powell yang tidak sesuai dengan kondisi di lapangan, serta kerap tidak konsisten.

Dari sektor perumahan pada Mei terjadi penurunan pembangunan rumah hingga 14,4%, padahal saat ini di Amerika Serikat sedang terjadi kelangkaan rumah bahkan dikatakan pada level kronis. Kemudian sektor manufaktur di wilayah Philadelphia kembali mengalami kontraksi, pengajuan klaim tunjangan pengangguran mingguan juga lebih tinggi dari perkiraan.

Ketua The Fed dua periode ini sebelumnya mengatakan tidak banyak yang bisa dilakukan untuk mengendalikan inflasi energi dan harga makanan, tetapi menyarankan akan terus menaikkan suku bunga hingga harga gas turun.

Kemudian ekspektasi inflasi yang sebelumnya masih cukup bagus. Tetapi kenaikan suku bunga sebesar 75 basis poin dikatakan sebagai akibat naiknya ekspektasi inflasi.


"Pernyataan Powell membingungkan, kurang percaya diri, dan menaikkan risiko makroekonomi dan stabilitas finansial," tulis Bespoke Investment Group dalam sebuah catatan ke nasabahnya yang dikutip CNBC International. 

Sementara itu dari dalam negeri, Bank Indonesia (BI) yang akan mengumumkan kebijakan moneter Kamis nanti menjadi perhatian.

Gubernur BI Perry Warjiyo sejauh ini masih enggan menaikkan suku bunga, sebab inflasi masih terjaga. Dengan suku bunga yang dipertahankan di rekor terendah 3,5%, diharapkan mampu menjaga momentum pertumbuhan ekonomi.

"BI tentu saja tidak harus terpaksa menaikkan suku bunga," kata Gubernur BI Perry Warjiyo dalam seminar INDEF bertajuk Managing Inflation to Boost Economic Growth, Rabu (15/6/2022).

Menurut Perry langkah normalisasi yang dijalankan BI adalah kenaikan giro wajib minimum (GWM) perbankan.

"Kami tetap akan dan sudah melakukan normalisasi. dengan menaikkan GWM. bahkan dengan RDG kami percepat normalisasi likuiditas tadi tanpa mengganggu perbankan menyalurkan kredit," jelasnya.

BI akan tetap terus memantau perkembangan ke depan, khususnya dari sisi global, baik perang Rusia dan Ukraina hingga arah kebijakan moneter negara di dunia.
"Semoga tidak ada kejutan di global dan domestik sehingga pemulihan terus berlanjut. Stabilitas sistem keuangan terjaga rupiah terjaga dan semua menuju Indonesia maju," pungkasnya.

Namun, sehari setelah pernyataan tersebut bank sentral AS (The Fed) menaikkan suku bunga sebesar 75 basis poin menjadi 1,5% - 1,75%. Kenaikan tersebut menjadi yang terbesar sejak tahun 1994.

Meski tidak terlalu mengejutkan, karena sudah diperkirakan oleh pelaku pasar, agresivitas tersebut tentunya lebih tinggi dari proyeksi BI yang melihat suku bunga The Fed masih di bawah 3% di akhir tahun ini.

Berdasarkan Fed Dot Plot yang dirilis setiap akhir kuartal, mayoritas anggota komite pembuat kebijakan moneter (FOMC) The Fed melihat suku bunga di akhir tahun berada di 3,4% atau di rentang 3,25% - 3,5%.

Artinya, suku bunga The Fed akan nyaris sama jika BI tidak menaikkan suku bunga yang saat ini 3,5% hingga akhir tahun nanti. Hal ini bisa memicu capital outflow dari pasar dalam negeri yang bisa membuat rupiah semakin tertekan.

Seperti apa arah kebijakan BI nantinya akan mempengaruhi pergerakan rupiah.

TIM RISET CNBC INDONESIA 


(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Kabar Dari China Bakal Hadang Rupiah ke Bawah Rp 15.000/US$?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular