Dihantam Luar Dalam, Rupiah Babak Belur!

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
14 June 2022 17:35
Uang Edisi Khusus Kemerdekaan RI ke 75 (Tangkapan Layar Youtube Bank Indonesia)
Foto: Uang Edisi Khusus Kemerdekaan RI ke 75 (Tangkapan Layar Youtube Bank Indonesia)

Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah terpuruk melawan dolar Amerika Serikat (AS) dalam dua hari terakhir. Tekanan datang dari luar dan dalam negeri membuat rupiah menyentuh level terlemah dalam 18 bulan terakhir.

Setelah terpuruk 0,57% ke Rp 14.762/US$, terlemah sejak 5 Oktober 2020, rupiah berhasil memangkas pelemahan dan mengakhiri perdagangan Selasa (14/6/2022) di Rp 14.695/US$, melemah 0,12%. 

Kemarin, rupiah jeblok 0,88%, menjadi penurunan terbesar sejak Februari 2021 lalu. Artinya dalam 2 hari terakhir rupiah merosot 1%.

Inflasi yang semakin meninggi di Amerika Serikat memberikan tekanan dari eksternal, menjadi biang kerok jebloknya rupiah. Inflasi berdasarkan consumer price index (CPI) di AS pada Mei 2022 melesat 8,6% year-on-year (yoy). Inflasi tersebut naik dari bulan sebelumnya 8,3% (yoy) dan menjadi rekor tertinggi sejak 1981.

Ketika inflasi tinggi, maka daya beli masyarakat akan menurun. Konsumsi rumah tangga yang merupakan tulang punggung perekonomian akan terpukul.

Guna meredam inflasi tersebut, The Fed akan sangat agresif menaikkan suku bunga. Di akhir tahun ini, suku bunga The Fed diperkirakan berada di 3,5% - 3,75%, berdasarkan perangkat FedWatch miilik CME Group, dengan probabilitas sebesar 41%. 

Probabilitas tersebut kini menjadi yang terbesar, padahal pada pekan lalu masih diperkirakan berada di kisaran 2,75% - 3%.

Suku bunga berada dalam posisi netral, artinya tidak memacu pertumbuhan ekonomi tetapi juga tidak melambat diperkirakan berada di 2,5%. Artinya jika suku bunga The Fed di atas itu, maka perekonomian bisa melambat, sebab ekspansi dunia usaha dan konsumen rumah tangga akan semakin tertahan.

idrFoto: CME Group

Seandainya dengan suku bunga tinggi inflasi masih belum melandai, maka Amerika Serikat terancam kembali mengalami resesi.

Tanda-tanda Amerika Serikat akan mengalami resesi semakin menguat setelah yield obligasi AS (Treasury) kembali mengalami inversi Senin kemarin. Artinya sepanjang tahun ini, sudah 2 kali inversi terjadi.

Inversi tersebut terjadi setelah yield Treasury tenor 2 tahun lebih tinggi ketimbang tenor 10 tahun, meski hanya berlangsung sesaat. Dalam kondisi normal, yield tenor lebih panjang akan lebih tinggi, ketika inversi terjadi posisinya terbalik.

Sebelumnya inversi juga terjadi di bulan April lalu, dan menjadi sinyal kuat akan terjadinya resesi di Amerika Serikat dalam 6 sampai 24 bulan ke depan.

Indonesia memang belum berisiko mengalami resesi, tetapi ketika perekonomian AS merosot maka produk domestik bruto (PDB) dalam negeri juga ikut terseret. Selain itu, risiko resesi malah membuat permintaan dolar AS sebagai safe haven meningkat. Hal tersebut akhirnya membuat rupiah terpuruk.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Kasus Covid-19 di RI Melesat

Tekanan dari eksternal diperburuk dari dalam negeri. Jika melihat pergerakan mata uang Asia hari ini, beberapa mampu menguat melawan dolar AS.

Artinya, sentimen pelaku pasar sebenarnya tidak buruk-buruk amat. Tetapi, rupiah masih sulit menguat. Sebabnya, kasus penyakit akibat virus corona (Covid-19) yang diperkirakan akan kembali melonjak di Indonesia.

Hal ini terjadi akibat penyebaran varian baru subvarian Omicron BA.4 dan BA.5.

Rata-rata kenaikan kasus dalam 7 hari terakhir hingga Senin kemarin sebanyak 562 orang, naik sekitar 57% dari pekan sebelumnya. 

Kenaikan kasus tersebut diperkirakan akan terus meningkat hingga satu bulan ke depan.

"Pengamatan kami ini gelombang BA.4, BA.5 itu biasanya puncaknya tercapai satu bulan setelah penemuan kasus pertama. Jadi harusnya di minggu kedua Juli, minggu ketiga Juli, kita akan melihat puncak kasus BA.4 dan BA.5 ini," kata Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin.

Budi mengatakan, tingkat penularan BA.4 dan BA.5 diperkirakan hanya sepertiga dari puncak kasus Delta dan Omicron. Pada saat itu, kasus harian akibat varian Delta mencapai 56 ribu, sementara Omicron mencapai 64 ribu per hari.

"Kasus hospitalisasi juga sepertiga dari kasus Delta dan Omicron, sedangkan kasus kematian sepersepuluh dari Delta dan Omicron," jelasnya.

Lonjakan kasus Covid-19 tersebut dikhawatirkan akan membuat pemerintah kembali mengetatkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang bisa membuat roda perekonomian kembali melambat. Hal ini berdampak negatif bagi rupiah.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular