
Rupiah Bangkit! Mampu Bertahan di Bawah Rp 14.700/US$

Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah kembali melemah melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Selasa (14/6/2022). Meski demikian, rupiah mampu bangkit dan memangkas pelemahan setelah mencapai level terlemah dalam 18 bulan di Rp 14.762/US$.
Melansir data Refinitiv, rupiah mengakhiri perdagangan di Rp 14.695/US$, melemah 0,12% di pasar spot.
Bank sentral AS (The Fed) yang diperkirakan akan menaikkan suku bunga sebesar 75 basis poin menjadi 1,5% - 1,75% di pekan ini membuat rupiah tertekan hebat. Jika terealisasi, kenaikan tersebut akan lebih besar dari yang diucapkan ketua The Fed, Jerome Powell sebelumnya yakni sebesar 50 basis poin.
Kenaikan tersebut akan menjadi yang terbesar dalam nyaris tiga dekade terakhir.
Berdasarkan perangkat FedWatch milik CME Group, pasar melihat probabilitas kenaikan 75 basis poin sebesar 96%.
![]() |
Dengan agresifnya kenaikan suku bunga, Amerika Serikat kini terancam mengalami resesi. Sebab, suku bunga tinggi akan menghambat ekspansi dunia usaha begitu juga dengan konsumsi rumah tangga.
Apalagi jika inflasi akhirnya tidak melandai, maka ancaman resesi akan semakin nyata.
Isu resesi yang akan terjadi di Amerika Serikat semakin menguat setelah kembali munculnya inversi yield obligasi AS (Treasury).
Inversi tersebut terjadi setelah yield Treasury tenor 2 tahun lebih tinggi ketimbang tenor 10 tahun, meski hanya berlangsung sesaat. Dalam kondisi normal, yield tenor lebih panjang akan lebih tinggi, ketika inversi terjadi posisinya terbalik.
Sebelumnya inversi juga terjadi di bulan April lalu, dan menjadi sinyal kuat akan terjadinya resesi di Amerika Serikat.
Berdasarkan riset dari The Fed San Francisco yang dirilis 2018 lalu menunjukkan sejak tahun 1955 ketika inversi yield terjadi maka akan diikuti dengan resesi dalam tempo 6 sampai 24 bulan setelahnya. Sepanjang periode tersebut, inversi yield Treasury hanya sekali saja tidak memicu resesi (false signal).
Setelah rilis riset tersebut, inversi yield terjadi lagi di Amerika Serikat pada 2019 lalu yang diikuti dengan terjadinya resesi, meski juga dipengaruhi oleh pandemi penyakit akibat virus corona (Covid-19).
Di tahun ini inversi kembali muncul. Kali ini penyebabnya inflasi yang sangat tinggi, serta bank sentral AS (The Fed) yang agresif menaikkan suku bunga.
Selain itu sentimen negatif lainnya datang dari China. Euforia dicabutnya karantina wilayah (lockdown) di Shanghai, ternyata kabar gembira itu tidak bertahan lama. Distrik Minhang di Shanghai kembali memberlakukan lockdown akibat kenaikan kasus positif Covid-19.
Di ibukota Beijing, pemerintah setempat juga kembali menerapkan aturan tegas. Tempat hiburan di Beijing kembali ditutup.
Pemerintahan Presiden Xi Jinping memang tidak main-main soal Covid-19. China masih menganut kebijakan tanpa toleransi (zero tolerance) terhadap Covid-19. Begitu ada kluster penularan, langsung lockdown.
"Iklim usaha di China belum kondusif meski sejumlah kota sudah dibuka kembali, karena kebijakan zero Covid-19. Setiap pagi, masyarakat tidak tahu apakah lockdown akan kembali berlaku," tegas Christophe Lauras, Presiden Kamar Dagang Prancis untuk China, sebagaimana diwartakan Reuters.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Kabar Dari China Bakal Hadang Rupiah ke Bawah Rp 15.000/US$?
